Senin, 21 Mei 2012

Cerpen Original 'Stupid Liar'

Stupid Liar by Winna Yoshioka (cesavia)


Warning!! 
Dilarang mengkopi atau mempublish ulang tanpa sepengetahuan sang penulis.
(Cerita ini diambil dari kisah nyata dengan nama yang disamarkan, jadi kalo ada yang merasa tersinggung, harap maklum ya. Hehehe)

.
.

Malam hari, saat aku tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan seseorang, tiba-tiba ponselku berdering, menandakan sebuah pesan masuk.

From: Fajri

Ada yang belum tidur?

Setelah membaca pesan singkat itu, dengan marah aku langsung melempar ponselku ke ranjang dengan sembarang.

Great!

Sudah kuduga dia berbohong padaku. Bahkan sejak pertama mengenalnya aku sudah tahu bahwa dia merupakan tipe laki-laki perayu, playboy dan sejenisnya. Aku juga sebenarnya tahu, dia menaruh perasaan padaku serta beberapa perempuan lainnya yang kukenal, tipikal playboy sejati. Dari mana aku tahu? Tentu saja dengan intuisi, karena intuisiku dalam menilai laki-laki memang hampir selalu benar dan tak perlu diragukan lagi karena semua teman-temanku didominasi oleh kaum adam.

Beberapa menit kemudian ponselku kembali berdering, tapi kali ini ada telepon masuk. Aku melirik ke arah ponselku dan melihat siapa yang meneleponku malam-malam begini.

Fajri

Aku memutar bola mataku bosan, dia lagi? Ah, aku malas sekali meladeninya. Berpura-pura mengirim pesan pada semua teman, tapi sebenarnya hanya mengirim pada satu orang, lalu jika orang itu tak merespon, kau akan mencoba meneleponnya, berharap dia akan mengangkat telepon ataupun membalas pesanmu. Hey, boy! Itu trik yang sangat kuno dan aku sangat mengetahuinya. Aku bukanlah anak polos yang baru menginjak pubertas yang bisa kau kelabui dengan mudahnya. Aku seorang remaja tujuh belas tahun, dan aku sudah menghadapi berbagai macam tipe pria, terutama yang seperti dirimu itu.

Ponselku kembali berdering, menandakan pesan masuk.

From: Fajri

Raisa, aku tahu kamu belum tidur. Kenapa gak bales sms aku? Aku lagi bosen nih, butuh temen curhat.

Oh, yeah! Aku lupa satu julukan lagi untukmu.

Laki-laku kesepian yang haus akan cinta.

Woah, panjang sekali, tapi itu julukan yang sangat cocok untuknya.

***

Aku berjalan di koridor dengan amat santai, karena pagi ini sekolah masih lengang. Aku sengaja datang pagi, walaupun sangat malas karena tidak mau terjebak dalam kemacetan diawal minggu.

I hate monday!

Aku memasuki ruang kelasku yang masih sepi, hanya terdiri dari beberapa anak rajin yang sedang membaca buku pelajaran ataupun ada yang sedang melanjutkan tidurnya.

Aku menaruh tas selempangku di atas meja ku yang berada di pojok dekat pintu barisan kedua. Bangku di sebelah tempat duduk ku masih kosong, menandakan sang penghuninya belum datang ke sekolah.

Karena merasa sangat bosan, aku mengeluarkan ponselku dari kantung seragamku, lalu membuka twitter yang sudah dua hari kutinggalkan.

Saat aku sedang asik-asiknya jariku menari pada keypad ponsel, aku dikagetkan oleh Riez yang masuk kedalam kelas dengan terburu-buru seperti habis dikejar anjing rabies.

"Hosh..di..depan..hosh..gerbang..hosh..ad―"

Ucapannya yang sangat terburu-buru, ditambah napasnya yang tersenggal-senggal membuatku tidak mengerti dengan kata-katanya dan terpaksa kuinterupsi ucapannya yang berantakan itu, "Woah, tenang. Tarik napas, jangan buru-buru gitu." ujarku untuk menenangkannya.

Beberapa saat setelah dia mengikuti arahanku, dia terlihat lebih tenang dan santai. "Sa, di depan gerbang ada Fajri!" katanya.

Aku terkejut, untuk apa dia kesekolahku pagi-pagi begini?

"Ngapain dia kesini? Kaya' gak punya kerjaan aja tuh orang." kataku acuh.

"Katanya dia mau ketemu kamu!" kata Riez.

"Males ah ketemu dia, denger suaranya aja udah bikin aku muak." kataku dingin.

Riez terlihat terkejut dengan ucapanku, mungkin karena tiba-tiba saja aku bersikap seperti itu pada Fajri.

"Lho, kenapa?" tanya Riez heran.

"Nanti aja aku ceritain, yang penting kamu bilangin si Fajri kalo aku gak mau ketemu sama dia." pintaku pada Riez, dan dia langsung menirim pesan pada Fajri kalau aku tidak mau menemuinya sekarang.

***

Aku begitu terganggu sejak sebelum jam pelajaran pertama dimulai karena ponselku terus berdering, untung saja tadi sempat ku silent, jadi aku tidak kena hukuman karena menyalakan ponsel selagi belajar, karena itu dilarang.

Siapa lagi kalau bukan Fajri yang terus menerorku dengan segala pesan singkatnya. Sampai pulang sekolah dia masih terus mengirimiku pesan yang semua isinya sama, yaitu mengajaku bertemu dan bicara.

Huh, aku malas sekali untuk meladeninya. Aku benar-benar sudah tidak mau peduli padanya, laki-laki pembohong.

Ya, aku sangat benci para pembohong, apalagi berbohong untuk mencapai keinginannya, seperti Fajri. Bagiku mereka hanya pecundang dan aku tidak mau mengorbankan hidupku dengan berteman dengan orang-orang seperti itu.

Seperti yang pernah kubilang, Fajri memang perayu dan playboy. Berteman dengan orang seperti itu tak masalah bagiku, toh kebanyakan laki-laki memang seperti itu, kan? Tapi, yang dilakukan Fajri padaku sudah benar-benar keterlaluan. Dia sudah menipuku mentah-mentah!

Saat aku baru berjalan beberapa langkah, betapa terkejutnya aku ketika ada seseorang yang menarik tanganku, dan itu adalah Fajri.

Aku melotot padanya dan mencoba melepaskan tanganku dari cengkramannya.

"Lepasin tangan gue!" oke, aku memakai kata gue, yang berarti aku benar-benar sedang marah pada seseorang.

"Oke, aku akan lepasin kamu, tapi kamu jangan kabur."

"Emangnya gue ayam, kalo dilepas kabur!" semprotku.

"Sori." katanya seraya melepas cengkramannya pada tanganku.

Aku mengelus-elus tanganku yang bekas dicengkramnya, terasa perih karena dia mencengkram lumayan keras.

"Mau ngapain lo kesini?" tanyaku garang, tak meninggalkan sedikitpun keramahan yang biasa kusajikan padanya.

"Raisa, aku cuma mau ngomong sama kamu, jadi jangan marah-marah donk." pintanya.

Huh, dasar laki-laki gak tahu diri! Minta aku gak marah? Gak nyadar apa, kalau dia udah bikin kesalahan yang membuatku marah?

"Udah deh, kalau lo mau ngomong, ya ngomong aja. Gue masih punya urusan yang lebih penting daripada ngomong sama pembohong kaya' lo!"

Fajri terlihat menarik napas dalam, lalu membuangnya dan memandangku dengan tatapan sendunya. What the? Berani-beraninya dia natap mataku dengan tatapan kayak gitu. Rasanya pengen kuhantam aja tuh wajahnya pake tas ku yang super berat ini.

"Oke, kemarin aku emang bohong sama kamu. Tapi bukan maksudku untuk bener-bener ngebohongin kamu, aku cuma-"

"Gak bermaksud ngebohongin gue? Terus, yang kemarin lo bilang kalo lo masuk rumah sakit gara-gara percobaan bunuh diri, itu apa? Kalo lo mau ngerjain gue kira-kira donk, jangan bikin gue panik setengah mati kaya' gitu. Gara-gara kebohongan lo itu, gue merasa bersalah banget, dan lo nambah-nambahin masalah gue yang udah numpuk aja, tahu!" kemarahanku yang sejak semalam kupendam kukeluarkan semua, aku tak memedulikan puluhan pasang mata yang tengah asik mengamatiku, yang penting aku bisa meluapkan semua kemarahan dan kekesalanku pada makhluk dihadapanku ini.

"Raisa, aku cuma mau tahu kamu khawatir atau gak sama aku. Aku bener-bener cinta sama kamu, dan aku mau kamu jadi pacar aku."

"What, cinta?" Aku menertawakannya, menertawakan segala kebodohannya. "Jangan harap gue bisa percaya sama lo, karena lo selalu mengumbar kata cinta. Lo kira gue gak tahu, semua cewek yang selalu lo gembar-gemborin kata cinta? Gue kenal mereka, karena mereka temen-temen gue, tahu! Dan asal lo tahu aja, gue akan selalu khawatir sama keadaan temen-temen gue, tanpa terkecuali! Dan sekarang gue kehilangan respect dan gak mau temenan sama lo, yang artinya gue gak akan peduli lagi sama lo." kataku lalu beranjak pergi dari hadapannya.

"Raisa, tunggu!" panggilnya.

Aku menoleh, "Satu lagi! Gue udah punya cowok, jadi jangan pernah ganggu gue lagi." kataku sambil menyeringai, lalu beranjak mendekati seorang cowok yang sedang bersandar di pohon depan sekolah yang merupakan pacarku sejak seminggu yang lalu.

Sedangkan Fajri? Dia hanya bengong melihatku bersama pacar baruku. Dia pergi dengan wajah sangat kesal, "Huh, gagal lagi. Kalau begitu, next target!" gumamnya, lalu merogoh sakunya untuk mengirim sebuah pesan yang sudah pasti dikirim pada mangsa barunya.

OWARI

A/N: cerita ini dibuat waktu aku lagi sebel banget sama seorang cowok. Hm,, mungkin ceritanya jelek ya, tapi gak apalah, kan masih dalam tahap  pembelajaran, lebih baik jelek tapi buatan sendiri daripada bagus tapi plagiat. Haha..
Boleh minta kripik (?) dan sarannya gak..? :D

Senin, 14 Mei 2012

Bleach Fanfiction (IchiRuki) 'Under The Rainy Day

Bleach © Kubo Tite
.
Under The Rainy Day © winna_yoshioka
.
Warning: Gaje, OOC *mungkin*, Typo

.
.
Seorang gadis sedang duduk di sebuah dahan pohon, matanya terpejam sambil merasakan hembusan angin yang membelai lembut kulitnya. Ia merasa amat nyaman berada disitu, melepaskan semua penat yang ia rasakan.

"Rukia!"

Suara itu sontak membuatnya membuka kedua kelopak matanya yang sedari tadi terpejam.

"Oi Rukia, cepat turun!" suara itu memerintahnya.

Rukia tak mengindahkan perintah itu, dia tahu suara siapa itu. Rukia benar-benar tidak ingin melihat wajah pemilik suara itu, itulah sebabnya sedari tadi ia menghabiskan waktu di atas pohon sendirian.

"Kalau kau tidak turun maka aku yang akan naik!" oceh suara itu lagi.

Rukia mendesah lalu bergegas melompat dari dahan yang berjarak sekitar dua meter dari pemukaan tanah.

'Hup'

Rukia mendaratkan kakinya dengan mulus di atas tanah, dia memang tak pernah kesulitan untuk memanjat ataupun turun dari pohon walaupun dengan ukuran tubuhnya yang mungil.

Rukia berjalan tanpa mengacuhkan seseorang yang kini berada dihadapannya.

"Rukia!" panggil suara itu lagi. Rukia benar-benar tak menghiraukannya dan terus saja berjalan.

"Rukia, kau itu kenapa sih?" tanyanya.

"Sebentar lagi kelas akan dimulai, lebih baik kau juga kembali kedalam kelas, Ichigo." ucap Rukia tanpa menoleh kepada laki-laki itu –Ichigo.

.
.

Suara bising di kelas seketika berhenti ketika Ochi-sensei memasuki kelas. Setelah muri-murid memberi salam dan kembali duduk, Ochi-sensei pun mulai berbicara.

"Kumpulkan semua tugas kalian yang aku berikan minggu kemarin!" seru Ochi-sensei.

Rukia terdiam, dia terlihat bingung. Seingatnya Ochi-sensei tidak memberikan tugas apa-apa.

"Hei Tatsuki, memangnya ada tugas ya?" tanya Rukia polos.

"Jangan bilang kau lupa mengerjakannya. Minggu kemarin dia tidak masuk dan memberikan tugas pada kita semua." jawab Tatsuki.

Rukia mencoba mengingat tugas itu, tapi ia benar-benar merasa tak ada tugas. Kemudian ia baru teringat, minggu kemarin ia tak masuk sekolah karena demam.

'Jeruk sialan, dia tak memberi tahuku kalau ada tugas.' rutuk Rukia dalam hati.

Alhasil, ketika semua orang mengumpulkan tugasnya kedepan, Rukia hanya duduk dibangkunya dengan cemas.

"Sepertinya masih ada yang belum mengumpulkan tugas ini." Seru Ochi-sensei setelah menghitung jumlah tugas yang sudah terkumpul di depan. "Yang tidak mengerjakan harap maju kedepan kelas."

Tubuh Rukia telah dibanjiri oleh keringat dingin. Dia pasti akan mendapatkan hukuman dari Ochi-sensei.
'Ini semua salah si jeruk itu!' jerit Rukia dalam hati. Dia memberikan deathglare terbaiknya kearah Ichigo. 

Yang diberikan deathglare juga sepertinya sudah menyadari kesalahannya dan menatap Rukia seakan-akan mengucapkan 'Maaf, aku benar-benar lupa memberitahumu.'

Dengan berat hati Rukia berjalan menuju kedepan kelas, semua mata tertuju pada sosoknya yang kini tengah berdiri di depan Ochi-sensei.

"Jadi nona Kuchiki belum menyerahkan tugasnya?" tanya Ochi-sensei lebih kepada dirinya sendiri.

"Maaf Sensei, minggu kemarin aku tidak masuk dan tidak ada yang memberitahuku tentang tugas yang kau berikan." ucap Rukia seraya meminta maaf.

"Itu bukan alasan Kuchiki. Sekarang kau berdiri di sudut kelas dan setelah pulang sekolah kau harus membersihkan koridor lantai dua sampai bersih." Perintah Ochi-sensei.

"Tapi aku-"

"Aku tak mau mendengar bantahan darimu. Cepat lakukan yang tadi kuperintahkan atau hukumanmu akan aku tambah!" seru Ochi-sensei memotong ucapan Rukia.

"Baiklah." ucap Rukia lemas sambil berjalan kesudut kelas. Semua murid sedang menahan tawa melihat Rukia, kecuali satu orang yaitu Ichigo. Dia memandang Rukia dengan tatapan bersalah, tapi Rukia membalasnya dengan sebal.

.
.

Rukia sedang mengepel lantai koridor ketika seseorang memegang pundaknya. Rukia menoleh dan mendapati sosok Ichigo.

"Ada apa?" tanya Rukia ketus.

"Aku mau membantumu." jawab Ichigo.

"Tidak usah, aku bisa sendiri." tolak Rukia dingin.

Setelah mendengar jawaban dari Rukia, Ichigo pun menyerah. Ia tahu kalau saat ini ia tetap mencoba membantu Rukia, gadis itu pasti akan semakin kesal. Kalau Rukia sedang kesal, lebih baik menunggunya agar kesalnya mereda karena akan percuma bicara dengan Rukia yang keras kepala seperti itu.
Rukia terus mengepel lantai dengan perasaan kesal. Semua masalah yang ia hadapi berasal dari Ichigo.

"Ichigo baka! Mikan no baka!" teriak Rukia kesal.

Tanpa terasa awan mulai mendung dan hujan pun mulai turun. Rukia mempercepat acara mengepelnya agar tidak terjebak disekolah saat hujan lebat. Tapi nasib berkehendak lain, saat Rukia menyelesaikan hukumannya, hujan sangatlah lebat. Rukia yang tak membawa payung kini kebingungan untuk pulang.

"Mau tumpangan?" tawar Ichigo yang kini sudah berada disamping Rukia dengan membawa sebuah payung.

"Tidak." tolak Rukia dingin.

"Kau kenapa sih Rukia? Akhir-akhir ini sikapmu dingin sekali padaku." tanya Ichigo yang sudah tak bisa menahan rasa kesalnya karena sikap Rukia.

"Tidak ada apa-apa." jawab Rukia singkat.

"Kau tak bisa berbohong padaku Rukia. Aku tahu kau sedang kesal padaku, tapi apa alasannya?" Ichigo menuntut penjelasan dari Rukia.

"Sudahlah Ichigo, berhenti mengurusiku. Urusi saja pacarmu itu." ucap Rukia datar.

"Pacar?" tanya Ichigo bingung.

"Ya, Senna. Pacarmu yang centil itu." ucap Rukia.

"Oh, jadi krena itu kau bersikap aneh padaku? Karena kau pikir aku pacaran dengan Senna?" terka Ichigo.

Wajah Rukia memerah karena kesal, ia tak menghiraukan Ichigo dan langsung berlari menerobos hujan yang lebat.

"Rukia!" panggil Ichigo.

Rukia terus berlari, Ichigo pun mengejarnya dan meraih tangan Rukia.

"Apaan sih? Lepaskan tanganku!" seru Rukia seraya melepaskan diri dari cengkraman Ichigo.

"Jelaskan dulu kenapa kau kesal padaku? Apa kau cemburu pada Senna?" balas Ichigo, dia malah memperat cengkramannya dii pergelangan tangan Rukia.

"Kalau iya memangnya kenapa!" teriak Rukia, dia benar-benar merasa kesal pada Ichigo yang terus memaksanya.

Ichigo hanya diam, dia mencerna perkataan Rukia barusan, lalu Ichigo pun tertawa terbahak-bahak. "Haha."

"Kenapa malah tertawa jeruk bodoh!" geram Rukia kesal.

"Memangnya siapa yang pacaran dengan Senna, dia cuma teman." ucap Ichigo sambil menahan tawa.

"Pembohong!"

"Hey, aku bersumpah dia bukan pacarku. Lagipula tipe gadisku bukan seperti dia."

"Lalu seperti apa?" tanya Rukia.

"Kau." jawab Ichigo singkat tapi bisa membuat Rukia terdiam seketika.

Wajah Rukia pun memerah, tapi bukan karena amarah melainkan malu. "K-kau memang pembohong yang handal Ichigo." Rukia masih belum sepenuhnya percaya dengan ucapan Ichigo barusan.
 
"Kau masih tak percaya padaku? Kau kira aku bisa berbohong disaat seperti ini?" tanya Ichigo meyankinkan Rukia bahwa ia tidak berbohong.

Rukia hanya terdiam, dia melihat kedalam mata musim gugur Ichigo dan didalam mata itu ia melihat kejujuran.

"Jadi apa kau percaya?" tanya Ichigo.

"Ya." jawab Rukia setengah berbisik tapi masih bisa terdengar oleh Ichigo.

"Lalu?" tanya Ichigo lagi.

"Lalu apa?" kini Rukia balik bertanya pada Ichigo, sebelah alisnya naik karena tak mengerti ucapan Ichigo yang setengah-setengah.

"Mau jadi pacarku?"

Rukia hanya diam lalu mengangguk dan tertunduk malu. Ichigo menyunggingkan senyuman bahagianya.
Ichigo meraih pergelangan tangan kanan Rukia dan mengenggamnya. "Ayo kita pulang." serunya pada gadis disebelahnya yang kini telah resmi menjadi kekasihnya.

Hujan lebat yang sedari tadi mengguyur mereka seakan tak bisa mengalahkan pancaran kehangatan cinta mereka berdua dan hujanlah yang menjadi saksi dari menyatunya cinta kedua insan tersebut.

-Fin-

Senin, 23 April 2012

Bleach Fanfiction (Ichiruki) 'Nostalgia'

 Bleach by Tite Kubo

Nostalgia is Mine

.
ノスタルジア

IchiRuki Present

Seorang wanita muda berjalan di bawah sinar mentari musim semi yang hangat. Wanita itu menatap langit yang cerah. Angin telah membuat gaunnya melambai-lambai. Tubuh mungil wanita itu berjalan dengan anggun, gaun yang senada dengan warna matanya yang violet serta guguran bunga sakura di sekelilingnya, menambah pesona kecantikannya.

Langkah wanita itu terhenti di depan sebuah sekolah, SMA Karakura. Wanita itu sempat termenung lalu tersenyum dan kembali melangkahkan kakinya ke dalam sekolah itu. Dia berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah, melihat murid-murid sedang melakukan berbagai aktifitas di dalam kelas, membuatnya merasa rindu akan masa-masa sekolah yang telah ia lalui.

'Seandainya aku bisa kembali ke masa itu.' Begitu yang ada di dalam pikiran wanita itu.

"Rukia…!"

Wanita itu, Rukia. Dia menoleh kebelakang, melihat pria yang berada di hadapannya, ia un tersenyum. "Yo Renji."

Renji berjalan menghampiri Rukia, "Hey, kapan kau sampai?"

"Baru saja."

"Kukira kau tak akan datang, kau kan sangat sibuk."

"Hahaha…..Ada waktunya aku harus berpisah dengan pekerjaanku. Kalau tidak, aku akan tua sebelum waktunya."

"Benar juga katamu. Haha…Aku benar-benar bodoh."


"Ya ampun…Ternyata sejak dulu kau tak menyadari kebodohanmu ya?" ledek Rukia, dan mereka bedua pun tertawa. "Hey Renji, kapan yang lain akan datang?" tanya Rukia yang sangat rindu pada teman-temannya, sudah lama mereka semua tak bertemu karena Rukia disibukan oleh pekerjaannya.

Renji kemudian melirik jam tangannya, "Sepertinya sekitar setengah jam lagi mereka semua akan datang."

"Yap. Kalau begitu kau lanjutkan saja pekerjaanmu dan aku akan berkeliling." Rukia melirik kertas-kertas menumpuk yang berada di tangan Renji.

"Ok. Nanti aku akan menyusul setelah mengurus anak-abak di kelas."

Ya. Renji adalah seorang guru di SMA Karakura. Dia telah mengabdikan hidupnya selama dua tahun di sini dan cukup di gemari oleh para siswi.

Rukia menelusuri seluk-beluk sekolah itu, dia tidak merasa banyak perubahan yang terjadi di sana selama ia pergi. Hal itu meembuatnya tampak nyaman berada di sana. Rukia berjalan menuju atap sekolah. Sejak dulu ia sangat menyukai tempat ini, bersama teman-temannya saat istirahat, mereka selalu menghabiskan waktu di sini. Tempat yang penuh dengan kenangan indah.

wasureru koto nado dekiru to omou no minare ta senaka o oikake tai

Tiba-tiba Hp Rukia berdering.

"Hallo Renji, baiklah aku akan segera kesana." Rukia segera bergegas pergi menuju tempat dimana teman-temannya telah berada.

Di halaman belakang sekolah telah berkumpul Renji, Ishida, Chad, Orihime, Tatsuki, Keigo dan Mizuiro. Rukia pun segera bergabung dengan mereka.

"Kuchiki san." Orihime langsung memeluk Rukia.

"Halo Inoue." Rukia balas memeluknya.

"Hei Rukia, bagaimana kabarmu?" tanya Tatsuki yang sedang bersandar di pohon.

"Aku baik-baik saja seperti biasanya" Rukia tersenyum hangat.

Mereka berdelapan akhirnya berbincang-bincag setelah lama tak berjumpa. Rukia melihat kini teman-temannya telah banyak memiliki perubahan, terutama Keigo yang sekarang tidak lagi terobsesi kepada wanita. Rukia amat merindukan suasana ini, tapi ia masih merasakan sesuatu yang kurang. Laki-laki itu, dia tidak lagi berada di sini.

Setelah cukup lama saling melepas rindu, mereka pun melaksanakan tujuan utama mereka, yaitu membuka kapsul waktu. Mereka telah menaruh kapsul waktu saat upacara kelulusan dan berjanji akan membuka kapsul waktu itu enam tahun kemudian. Mereka mengubur kapsul waktu di bawah pohon ini, pohon yang memiliki banyak kenangan akan kebersamaan mereka.

Renji dan yang lainnya mulai menggali kapsul waktu itu. Dan membagikan kepada pemiliknya masing-masing. Di dalam kapsul waktu itu terdapat ungkapan dan harapan masing-masing orang untuk masa depan.
"Rukia, ambil ini." Renji memberi sebuah kapsul waktu lagi kepada Rukia.

"Kenapa kau memberikan ini kepada ku?" Rukia heran tapi tetap mengambil kapsul waktu itu.

"Dia yang telah mengatakannya padaku. Dulu, ia berkata. 'Jika aku tak bisa membuka kapsul waktu itu, bisa kau berikan kapsul waktu itu pada Rukia.' Jadi sekarang itu menjadi milikmu." Renji menatap mata violet Rukia dalam.

Rukia membuka perlahan kapsul waktu tersebut lalu mengambil secarik kertas yang berada di dalamnya. Rukia membuka lipatan kertas itu, dan mulai membacanya.

Aku Ichigo Kurosaki, sekarang usiarku 18 tahun. Mungkin saat aku membuka kapsul waktu ini dan membaca kembali suratku, usiaku telah 24 tahun. 

Aku tak percaya bahwa aku mengikuti ide gila teman-temanku tentang kapsul waktu ini. Seperti anak SD saja.

Sesuatu yang aku harapkan nanti saat aku membaca surat ini adalah aku menjadi orang yang berguna dan mapan tentunya, agar aku sebanding dengan dia, Kuchiki Rukia.

Sebenarnya sejak dulu aku sangat menyukainya, tapi aku merasa jauh berbeda dari dia. Dia seperti dewi yang sempurna, cantik, pintar, baik dan dia adalah seorang putrid dari orang ternama. Tidak seperti aku yang hanya menjadi orang biasa saja.

Haha. Aku berfikir aku memang amat bodoh menuliskan perasaanku pada selembar kertas ini. Yah, mudah-mudahan saja semua keinginanku itu benar-benar terkabul.

Fikiran Rukia melayang kembali pada enam tahun yang lalu

Flashback

Hari ini adalah hari kelulusan, Renji, Ishida, Chad, Mizuiro, Keigo, Orihime, Tatsuki, Rukia beserta Ichigo pun mengerjakan rencana yang mereka buat yaitu mengubur kapsul waktu.

Setelah selesai mereka pun pergi ke sebuah Café untuk merayakan kelulusan mereka semua. Mereka pun berpisah dan pulang ke rumah masing-msasing, kecuali Ichigo dan Rukia. Mereka berjalan bersama, karena rumah mereka searah.

"Rukia. Kau benar-benar akan pergi ke Amerika?" tanya Ichigo memecahkan keheningan yang sedari tadi menyelimuti mereka.

"Ya. Karena aku sudah di daftrakan oleh ayahku. Sebenarnya aku tidak mau, tapi aku tidak bisa menentang kehendak ayahku. Lalu bagaimana denganmu? Apa kau sudah memutuskan masuk Universitas?" Rukia berbicara tak benar-benar memandang Ichigo.

"Aku akan pergi ke London." seru Ichigo.

"Apa?" Rukia membelalakan matanya kaget.

"Aku mendapatkan beasiswa di Oxford, dan aku akan kuliah di sana." Seru Ichigo datar.

"Kenapa kau ta pernah mengatakannya padaku?" Rukia menjadi sedikit emosi karena sahabatnya menyembunyikn sesuatu darinya.

"Tadinya aku ragu-ragu dengan keputusan itu, jadi aku tak membicarakannya padamu dan yang lain." Ichigo menatap lekat Rukia.

Terjadi jeda sesaat diantara pembicaraan mereka.

"Aku pasti akan merindukanmu." ucap Rukia lemah.

"Ya. Aku juga pasti akan selalu meindukanmu. Tapi percayalah aku tak akan pernah melupakanmu." Ichigo tersenyum lembut tak seperti biasanya.

Rukia menatap Ichigo, lalu ikut tersenyum. Tak lama kemudian mereka pun harus terpisah oleh jalan.

"Baiklah Ichigo, kita berpisah di sini. Sampai jumpa." Rukia lalu menyebrangi Zebra Cross saat sebuah mobil tiba-tiba muncul dan melaju dengan sangat cepat.

"Rukia…awas….!" Ichigo pun langsung berlari kea rah Rukia dan mendorong gadis itu ke tepi, lalu semua terasa gelap di mata Rukia.

oOo

Rukia membuka matanya, semua terlihat putih. Saat ia hendak bangun dari posisinya, kepalanya terasa amat pusing. Dia meraba kepalanya, dia dibaut oleh perban.

"Rukia, kau sudah sadar. Arigatou Kamisama." seru seorang wanita yang sangat mirip dengan Rukia tetapi dalam versi lebih dewasa.

Rukia menatap ibunya heran. "Ibu, aku ada dimana?"

"Kau di Rumah Sakit sayang. Kau kemarin mengalami kecelakaan." ujar sang ibu lembut.

Rukia kemudian teringat akan kejadian kemarin, ia hampir saja tertabrak sebuah mobil tapi Ichigo medorongnya ke tepi. Pikiran Rukia langsung terpaku pada Ichigo.

"Ibu. Dimana Ichigo?" Rukia sangat Khawatir.

"…"

"Ibu. Ichigo dimana? Bagaimana keadaannya?" Rukia menjadi semakin tidak sabar.

Tiba-tiba pintu terbuka dan munculah Kuchiki Byakuya, ayah Rukia.

"Tenang Rukia, Ichigo baik-baik saja. Kau tak perlu mengkhawatirkan keadaannya." ucap Byakuya tenang.

Setelah mendengar ucapan ayahnya, Rukia pun menjadi sedikit lebih tenang. "Lalu kapan aku boleh menjenguknya?" tanya Rukia lemas.

"Setelah kau sembuh." jawab Byakuya dengan datar.

Rukia sudah di rawat di Rumah Sakit selama seminggu, dan ia pun tak sabar untuk melihat bagaimana keadaan temannya itu. Setelah keluar dari Rumah sakit, Rukia bergegas menuju rumah Ichigo. Keadaannya sagat sepi di sana, tak seperti hari-hari biasanya. Rukia pun mengetuk pintu.

Tok…tok…tok…

Tak lama pintu terbuka dan muncul seorang gadis berambut coklat, dia tersenyum lemah.

"Hallo Rukia chan. Kau sudah sembuh ya?" tanya gadis itu dengan senyum yang tak seceria biasanya.

"Ya Yuzu. Aku kesini ingin melihat Ichigo, bagaimana keadaannya?"

Setelahh mendengar perkataan Rukia, Yuzu pun terdiam, gadis kecil itu terlihat sedih.

"Yuzu, kenapa kau tidak mempersilakan tamu kita duduk." Ishin Kurosaki pun muncul di belakang anaknya.
Rukia pun masuk dan duduk di ruang tamu sedangkan Yuzu meniapkan minuman untuk Rukia dan terlihat Karin sedang duduk di sofa sedang menonton televisi.

"Rukia, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.?" seru Ishin dengan amat serius.

Rukia yang hendak bicara hanya mengangguk.

"Ini tentang Ichigo…." Ishin tak meanjutkan perkataannya.

Seketika detak jantung Rukia langsung berdetak dengan sangat cepat. "Ada apa dengan Ichigo?" Rukia mencoba bersikapp tenang.

"Aku harap kau bisa menerima berita ini." Ishin kembali terdiam.

"…"

"Ichigo sudah meninggal." lanjut Ishin.

Ucapan Ishin seakan menghentikan detak jantung Rukia. Dia tak percaya pada apa yang telah di ucapkan Ishin, tapi dalam raut wajah Ishin tak ada kebohongan. Air mata Rukia pun meleleh mengaliri wajahnya.

"Ba…Bagaimana…." Rukia tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Dia meninggal setelah berhasil menyelamatkanmu. Dia mengalami pendarahan yang parah, dan sebelum tiba di Rumah Sakit dia pun meninggal." Ishin berkata dengan tatapan amat menyesal pada Rukia.

Rukia hanya bisa terisak, dia tak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi di dalam hidupnya. Cinta yang ia pendam selama ini kepada Ichigo tak akan pernah berhasil ia ungkapkan. Karena sang Cinta itu sendiri telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

End of Flashback

Tak terasa air mata Rukia menetes, dia tidak percaya dengan apa yang barusan ia baca.

"Rukia. Kau baik-baik saja?" tanya Orihime yang khawatir dengan Rukia yang tiba-tiba menangis.

Rukia yang merasa menjadi pusat perhatian segera menyeka air matanya. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu menghawatirkan aku. Aku hanya kaget dengan apa yang Ichigo tulis dalam surat ini."

"Baiklah kalau begitu. Kami semua akan pergi ke Café, kau masih ingin tetap bersama kami." Orihime tersenyum dengan lembut sambil merangkul pundak Rukia.

Rukia hanya mengangguk dan mengikuti acara yang telah teman-temannya buat.

Akhirnya setelah dari Café mereka pun berpisah. Rukia memutuskan berjalan sendiri. Dia berjalan menuju taman tempat dulu ia sering bersama Ichigo.

Rukia menatap langit yang sekarang telah berwarna jingga, seperti warna rambut Ichigo yang mencolok. Ia masih tak percaya dengan apa yang telah Ichigo tulis dalam surat tersebut. Ichigo menyukainya, sama seperti dirinya menyukai Ichigo. Rukia pun tersenyum lembut pada langit tersebut dan berdoa dalam hati kecilnya.

Walaupun sekarang kita di takdirkan tidak untuk bersama. Semoga saja Tuhan akan mempertemukan kita kembali dan menakdirkan kita bersama-sama di kehidupan yang selanjutnya.

OWARI

Kyaa..!! Sumpah! abal banget nih cerita..

Sabtu, 21 April 2012

Bleach Fanfiction 涙売りの少女 (Namida Uri no Shoujo)



Heloo...! I'm come back with new fic...:)

Yang lagi galau, hati-hati ya baca fic ini karna fic inimengandung kegalauan yang cukup tinggi yang mampu membuat para pembaca yang galau bertambah tingkat galaunya menjadi depresi.. Hahaha..*laugh evil*

yasudah, tak banyak omong lagi,silakan baca..

.


Bleach belong to Kubo Tite

This plot is mine


.

涙売りの少女
(Namida Uri no Shoujo/Tear-seller girl)






"Dareka, watashi wo katte kudasai!"*


Kata-kata itu begitu ingin kuteriakan, tapi lidahku terlalu kelu untuk mengucapkannya. Seakan aku takut untuk mengatakannya. Ya, kuakui, separuh diriku begitu takut, tapi bagian diriku yang lainnya―yang dipenuhi amarah dan keputusasaan, selalu menginvasi pikiranku dengan kata-kata itu.


Kakiku begitu lelah melangkah, hingga membuatku tak mampu lagi berjalan. Tapi hatiku lebih lelah dengan semua drama kehidupan yang harus kulakoni. Aku duduk di trotoar―tak memedulikan seragamku yang akan kotor, sambil mendesah. Aku menatap setiap kendaraan yang masih ramai berlalu lalang di bawah rintik hujan.




Aku mulai bosan dengan kegiatanku―menatap kendaraan bermotor yang berlalu lalang, akhirnya aku memnutuskan untuk kembali berjalan menuju pusat kota. Meskipun kakiku sudah berteriak kelelahan, aku tidak memerdulikannya hingga aku tiba ditengah hutan beton yang berhiaskan cahaya yang berasal dari lampu, terlihat indah tapi terasa kaku dan dingin, sedingin malam ini.

Disini, ditengah kota, keadaan masih begitu riuh walaupun hujan mulai mengguyur dengan derasnya, meskipun begitu, yang kurasakan hanyalah kesunyian, seakan aku berada dalam ruang hampa yang kedap suara, sendirian karena telah dilupakan oleh orang-orang.

Mataku menangkap beberapa gadis sekolah menengah yang berlarian mencari tempat berteduh. Mereka menggunakan tasnya untuk menghalangi guyuran air hujan menimpa kepala mereka. 
Walaupun mereka terlihat kerepotan, mereka tetap saling tertawa pada temannya. Aku tersenyum dibuatnya, tapi bukan senyum kebahagiaan seperti mereka, melainkan sebuah cibiran yang sangat mencemooh, yang kutujukan untuk diriku sendiri, karena seumur hidupku, tak pernah ada yang tersenyum seperti itu padaku, bahkan sahabatku sendiri. Mereka tak pernah melakukan sesuatu yang berguna, mereka selalu menggosip tentang orang lain, bahkan juga tentang diriku. Mereka juga selalu mengomentari dan mengadili kehidupanku, seperti mereka merasa memahaminya, padahal tidak sama sekali. Hidup diantara seorang ibu yang jiwanya tidak sehat dan ayah seorang penjudi yang bahkan sanggup menjual putrinya sendiri, bukanlah suatu hal yang mudah dipahami.

Aku kembali berjalan ditengah hujan, entah mau kemana, aku tidak tahu. Aku hanya ingin membunuh waktu yang kumiliki. Aku hanyalah seorang aktris yang tak tahu perannya dalam panggung drama ini.

Langkahku kembali terhenti saat ekor mataku menangkap sebuah benda-yang dulu sangat kuinginkan, terpajang di etalase―sebuah boneka Barbie. Kulirik label harganya, dan...wow, mahal sekali untuk ukuran benda kecil seperti itu. Sebelum kembali berjalan, kembali kulirik boneka tersebut. Aku tersenyum kecut. Seandainya saja hidup semudah ketika kita masih menjadi anak-anak, tidak perlu mengetahui betapa kejamnya kehidupan dan hanya hidup dalam impian-impian indahnya.

Dulu, aku sering bermimpi menjadi seorang putri yang hidup dalam istana yang indah dan suatu saat ada seorang pangeran tampan yang gagah berani datang melamar sang putri, kemudian menikah dan hidup bahagia selamanya. Tapi, seiring bergulirnya waktu, aku sadar, itu hanyalah impian yang tak akan pernah terwujud karena hidup tak semudah dan seindah itu. Hidup di dunia ini adalah suatu yang kompleks dan mengandung banyak masalah.

Aku tersentak dan terlonjak kaget saat tiba-tiba sebuah klakson mobil berbunyi. Aku menoleh kearah jalan. Sebuah mobil Ferrari Enzo terparkir dipinggir jalan, sang pengemudi keluar dari mobilnya dan membuka payung, lalu berjalan kearahku, laki-laki itu tinggi, berbadan tegap dan tampan, terlihat dari cara berpakaiannya dan tentu saja mobilnya, dia orang yang berkantung tebal. Dia tersenyum padaku. Sesaat aku terpesona oleh ketampanannya, dan berharap dia adalah seorang pangeran yang akan menyelamatkan sang Cinderella dari jerat kehidupan yang menyedihkan. Tapi, harapan hampa itu segera sirna ketika aku melihat lebih jelas senyum yang diberikan padaku. Senyuman yang sangat menggoda dan penuh dengan penawaran serta hasrat saat melihat seragamku yang kini terlihat sedikit transparan akibat hujan yang mengguyurku.

"Mau tumpangan?" laki-laki itu masih tersenyum.

Aku membisu, aku tahu apa yang selanjutnya akan terjadi bila aku ikut dengannya. Dia mungkin akan mengajakku ke hotel, atau kalau ia bukan orang penyabar, ia akan mengajakku bermain di dalam mobil. Sejenak aku berpikir, mungkin tak apa jika aku mengikutinya, toh aku sudah tak mempunyai apapun untuk dipertahankan. Tapi, bayangan tentang saat dimana ayah menjualku pada seorang pria yang akhirnya merebut suatu hal paling berharga yang tersisa dalam diriku, mengusik pikiranku. Membuat diriku mengingat segala sesuatu yang mengerikan dimalam itu, hingga tubuhku bergetar ketakutan.

"Maaf, tidak perlu." aku langsung berlari tanpa menoleh pada laki-laki tersebut.

Air mataku mengalir, melebur dengar air hujan yang senantiasa menyirami bumi sejak tadi. Aku takut, sangat ketakutan. Segala sesuatu dalam hidupku tak pernah menjadi suatu hal yang baik. Aku tak punya harapan untuk masa depan. Aku takut masa depanku tak akan menjadi hal yang lebih baik dari saat ini.

Lagi-lagi langkahku terhenti, kali ini karena lampu lalu lintas yang berwana hijau. Aku menatap cahaya hijau itu dengan tatapan kosong, lalu terlintas sebuah ide di pikiranku untuk segera mengakhiri drama kehidupan ini. Saat aku ingin melangkah, lampu berubah kuning, lalu merah. Aku mengurungkan niatku untuk melangkah. Orang-orang disekelilingku segera menyebrang kesisi jalan yang lain dan aku tetap tak bergeming, kemudian lampu kembali hijau.

Aku merasa sedikit ketakutan dan keraguan, tapi semuanya akan segera berakhir dan aku tak akan merasakan penderitaan yang terus menyiksaku serta membuatku lelah, jadi aku menyingkirkan perasaan yang tak perlu tersebut.

Dengan mantap aku melangkah kesebuah mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Aku memejamkan mataku saat mobil itu menghantam dan melemparku beberapa meter. Kepalaku terantuk aspal dan kurasa darah terus merembes keluar karena kepalaku terasa hangat dan basah. Seluruh tubuhku terasa sakit dan aku tak dapat melihat dengan jelas, aku hanya bisa mendengar teriakan histeris orang-orang, tapi lama-kelamaan suara itu menghilang dan yang tersisa hanyalah kegelapan dan kesunyian, bahkan rasa sakitku pun menghilang dan aku tahu bahwa aku telah mengakhiri segalanya.

Selamat tinggal. Selamat tinggal Rukia Kuchiki.

:: Owari ::


*someone, please buy me!


SOMEONE, HELP ME!!!!
Fic macam apa itu di atas??!!
Huwa...! Gaje banget...! Galau...! Hahaha,, sumpah, ni fic berasa galau banget karena bikinnya pas lagi galau setengah idup plus wahamnya lagi kumat and kebetulan dengerin lagu AKB48 yg judul'a sama kaya' judul fic ni jadilah muncul ide buat bikin fic suram ini (sesuram hati yg buat).

Jumat, 20 April 2012

Hajimemashite!!

Moshi-moshi minna-san...!!
Hajimemashite, watashi no namae wa Winna Yoshioka desu. Watashi wa Daigaku no daigakusei desu. Watashi wa Jakarta ni sunde imasu. Yoroshiku onegaisimasu!


Halo..halo..halo.. apa kalian ngerti omonganku di atas? aku sendiri aja gak ngerti..Haha
Yosh, kalo gitu pake bahasa ibu aja yah..


Hajimemashou...!


Namaku Winna Yoshioka, tinggal di Jakarta dan sedang menjadi mahasiswa kesehatan di suatu tempat. Hobiku nonton tv, baca novel/komik, dengerin musik dan buat cerpen. Pribadiku menurut orang itu pendiem, tapi aslinya sih suka heboh. Statusku sih dari dulu single, jadi kalo ada yang berminat boleh ngelamar (?) kok, tapi belum tentu diterima loh.. haha


Motivasi (?) ku untuk buat blog ini sebenernya cuma coba-coba, soalnya blog ku tuh gak ada yang pernah awet, selalu aja lupa pasword, jadi ini blog ku yang ke enam. haha


Rencana masa depanku yaitu buat bahagiain orang tua dan mewujudkan cita-citaku.


Ada yang mau minta nomer handphond ku?
(gak ada woy!)
yaudah, kalo gitu gak aku kasih.. :p


Ada yang mau liat fotoku?
nih dia..





kawaii deshou..??
(hati-hati penipuan, itu bukan foto asli. *lol*)

Naruto Fanfic (sasuhina) "Cellular Love"


Ini Fic pertamaku, lagi-lagi ku publish di sini buat menuh-menuhin aja, hehe..

Naruto belong to Masashi Kishimoto

this plot is mine

sasuhina
.


Cellular Love


Hinata sama sekali tak menyentuh makan siangnya yang berada di atas meja, dia hanya termenung memandang keluar jendela. Ia tak tahan melihat Naruto dan Sakura yang sedang pacaran di depan kelas. Hatinya terasa sakit dan hancur saat melihat mereka berdua dan ia takut tak bisa membendung air matanya saat menatap mereka.
"Hinata, kau kenapa? Dari kemarin kau terlihat lesu dan tak mau memakan makan siangmu." tanya Ino yang sangat mengkhawatirkan keadaan Hinata sejak kemarin.
Hinata tak menjawab sdikitpun, bahkan ia pun tak memandang Ino yang bicara padanya.
"Ini semua pasti gara-gara Naruto dan Sakura ya?" Ino melirik Naruto dan sakura yang sedang berduaan, lalu memandang Hinata.
Mendengar nama Naruto dan Sakura, Hinata tak kuat dan matanya berkaca-kaca tapi tetap tidak memandang Ino. Ia takut jika air matanya tak dapat terbendung lagi.
Ino yang memandang Hinata hanya bisa prihatin melihat keadaan sahabat baiknya seperti ini. Dia ingin sekali membantu, tapi sepertinya saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan.
Sementara itu di depan kelas, Naruto dan Sakura benar-benar tidak mempedulikan sekitarnya. Mereka berdua sedang mentertawakan sesuatu.
Ino yang benar-benar kesal atas sikap Naruto dan Sakura pun bangkit dari kursinya dan menghampiri mereka berdua.
"Kalian ini memang tidak punya perasaan. Di depan Hinata masih bisa bermesraan dan bersenang-senang, kejam sekali!" Ino berteriak kepada Naruto dan Sakura.
Mendengar teriakan Ino, perhatian seluruh anak yang ada si kelas termasuk Hinata pun tertuju pada tiga orang yang berada di depan tersebut.
"Apa-apan si kau Ino?" tanya Naruto kesal.
"Yang harusnya bertanya itu aku, bukan kau! Tega sekali si kau meninggalkan Hinata yang sudah sangat baik padamu!" bentak Ino.
"Ino, jangan ikut campur urusan kami!" ucap Sakura marah.
"Kau juga tega sekali menghianati sahabat sendiri demi orang seperti dia." Ino tak kalah marahnya.
"Kenapa jadi kau yang marah si? Hinata saja tidak berkata apa-apa!" ucap Naruto geram.
"Itu karna dia terlalu baik pada kalian. Seharusnya kalian sadar diri dengan apa yang telah kalian perbuat padanya."
Setelah mendengar pertengkaran di depan kelas, Hinata berlari keluar kelas dengan beruraian air mata, ia tak dapat meampung air matanya yang sejak tadi telah menggenang di pelupuk matanya.
Melihat Hinata yang berlari keluar kelas, Ino pun berniat mengejarnya tapi langkahnya di hentikan oleh sang guru yang telah berada di depan kelas. Akhirnya ia hanya dapat membiarkan Hinata sendirian menanggung kesedihannya.

Flashback, two days ago.

Sekolah telah usai, tetapi Hinata, Sakura dan Ino serta beberapa orang yang lainnya masih berada di kelas karena mendapat giliran piket.
"Hinata, sepertinya akhir-akhir ini hubunganmu dengan Naruto sedang renggang ya?" tanya Ino.
"Ke..kenapa kau bisa bilang begitu?" Hinata bertanya dengan ragu-ragu pada Ino.
"Kalian sekarang jarang pulang bersama, di kelas pun kalian jarang bicara. Memangnya kalian ada masalah ya?"
"Tidak…Naruto bilang akhir-akhir ini dia sibuk, jadi tidak bisa pulag bersamaku."
"Oo.."
Sakura yang biasanya ikut dalam pembicaraan Hinata dan Ino hanya terdiam saja, dia seperti merasa tidak suka dengan pembicaraan kedua temannya itu.
Habataitara modorenai to itte
Mezashita no wa aoi aoi ano sora
Itachi-kun curang, cepat beritahu aku!



Handphone Hinata berbunyi, menandakan sebuah telpon masuk. Hinata pun melihat ke layar handphonenya, lalu tersenyum dan langsung mengangkatnya.
"Moshi-moshi Naruto-kun….Hmm, aku akan segera ke bawah." Hinata langsung menutup telepon genggamnya.
"Ada apa Hinata?" tanya Ino penasaran.
"Naruto menyuruhku ke bawah, katanya ada sesuatu yang ingin ia katakan kepadaku." jawab Hinata.
"Hmm, mungkin dia ingin memberi kejutan padamu. Hari ini kan tepat empat bulan kalian pacaran." tebak Ino.
Hinata tersipu malu mendengar ucapan Ino, "Mungkin saja. Kalau begitu aku akan ke bawah sebentar."
Hinata pun segera berlari menuju arah lapangan bola, tempat dimana Naruto berada. Naruto sedang duduk bersandar di pinggir lapangan sepak bola, dengan mengenakan seragam sepak bolanya. Sepertinya hari ini ia akan latihan sepak bola. Hinata pun berjalan menghampiri Naruto dan duduk disampingnya.
"Hinata, kau sudah datang." ucap Naruto saat menyadari kedatangan Hinata disampingnya. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, sudah sejak lama aku ingin mengatakan hal ini tapi aku tidak mempunyai waktu yang tepat."
Hinata mendengarkan kata-demi kata yang di ucapkan oleh Naruto dengan penuh perhatian. "K..kau ingin mengatakan apa Naruto-kun?"
"Hinata, sebenarnya aku…" saat Naruto ingin mengakhiri perkataannya tiba-tiba kepalanya terbentur oleh bola.
Duk
Naruto kesal dan melihat siapa yang telah melemparinya dengan bola. Lee, dia yang melepar bola kearah Naruto.
"Oy Naruto, cepat latihan. Jangan pacaran mulu!" teriak Lee dari seberang lapangan.
"Baiklah!" balas Naruto. "Hinata, nanti jam 8 malam ke Café biasanya. Kita lanjutkan pembicaraan kita disana." Setelah mengucapkan itu, Naruto langsung pergi meninggalkan Hinata begitu saja.

oOo

Hinata sudah berada di Café Ichiraku Ramen, tempat dia dan Naruto biasa kesana saat kencan karena Naruto suka sekali makan ramen disana. Hinata megambil tempat yang terletak agak di sudut karena dia tak terlalu suka dengan keramaian. Hinata sudah duduk disana selama 15 menit, dia memang selalu datang terlebih dahulu daripada Naruto karena takut Naruto akan bosan menunggunya.
Cukup lama Hinata menunggu Naruto, tak biasanya Naruto telat bila bertemu dengannya. Tapi akhir-akhir ini Naruto memang suka telat. Hinata melirik jam tangannya yang menunjukan pukul 20.10 dan Hinata hanya bisa menghela nafas serta bersabar untuk menunggu kedatangan Naruto.
Tak berapa lama kemudian Naruto muncul dan langsung duduk di hadapan Hinata. Hinata tersenyum pada Naruto tapi Naruto tak mengacuhkan senyuman Hinata.
"Hinata aku kesini untuk mengatakan sesuatu yang penting padamu." ucap Naruto dengan pandangan yang serius.
Jantung Hinata berdebar-debar menunggu perkataan Naruto, dia berharap bahwa Naruto ingin mengatakan sesuatu yang istimewa di tepat empat bulan mereka pacaran.
"Hinata, aku ingin kita putus."
Hinata seakan berada di dalam mimpi, dia tidak percaya dengan apa yang barusan Naruto katakana. "A….apa…yang ba...barusan kau katakan?" Hinata memastikan pendengarannya tak salah menangkap pembicaraan.
"Kita putus saja."
Yakin bahwa pendengarannya tidak salah, air mata Hinata pun meleleh. "Ke…Kenapa...Na…Naruto-kun?" tanya Hinata sambil terus menangis.
"Karena aku sudah punya pacar yang lain dan lebih menyenangkan darimu Aku bosan kalau bersamamu karena kau jarang sekali bicara dan selalu malu-malu kalau bersamaku." dengan lancar Naruto membeberkan semua alasannya.
Air mata Hinata semakin meluap mendengar penjelasan dari Naruto, dengan mengumpulkan semua keberaniannya Hinata menanyakan siapa pacar Naruto yang satu lagi. "Si..siapa wanita i..itu? Da..dan sejak kapan ka..kalian mulai pacaran?"
"Kami sudah dua bulan pacaran.." Naruto terdiam sejenak, lalu mengambil nafas. "Dia adalah Sakura." Sambung Naruto.
Mendengar nama Sakura, hati Hinata seakan ditikam oleh pisau yang sangat tajam. Rasanya sangat menyakitkan bila ternyata sahabat sendiri menghianatinya demi seorang laki-laki.

End of Flashback

Hinata akhirnya masuk sekolah setelah seminggu tidak masuk sejak insiden Ino, Naruto dan Sakura bertengkar di depan kelas. Hinata selalu mengurung diri dikamarnya selama seminggu itu dan saat Ino menelponnya, Hinata tak pernah menjawabnya sekalipun. Begitu pula saat Ino datang ke rumahnya, dia tak pernah mau menemui Ino dan hanya mengunci diri di kamar.
Hinata menghabiskan waktunya di kamar dengan membuka jejaring social. Dia disana dia mendapat seorang kenalan bernama Itachi dan dia mencurahkan semua isi hatinya pada Itachi. Sebenarnya Hinata juga ingin berbicara pada Ino, tapi Hinata malu bila berhadapan dengan orang yang di kenalnya.
Sampai saat ini Hinata masih berkomunikasi dengan Itachi, tapi bukan melalui jejaring social lagi melainkan melalui email agar lebih mudah berkomunikasi.
Duk
Saat Hinata berjalan menuju kelas, dia mertabrak dengan seseorang. Hinata mendongak dan menatap orang yang tertabrak dengannya. Orang itu lebih tua darinya, dia memakai jas putih, wajah sangat tampan dan terlihat keren serta tatapan matanya sangat tajam, sepertinya dia seorang guru baru.
"Go…gomenasai sensei." Hinata membungkukan badannya seraya meminta maaf. Wajahnya masih memerah karena ia tak sadar menatap orang tersebut cukup lama, ia merasa malu.
Orang itu mengangguk dan berlalu begitu saja, kesan cool yang di berikan begitu mempesona.
"Hinata."
Ino memanggil Hinata dari kejauhan dan berlari menghampiri Hinata. "Kau kemana saja sih? Ku telpon tidak di jawab, aku ke rumahmu kau tidak mau keluar. Membuat orang khawatir saja." ucap Ino sambil mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal.
"Aku…aku mau menjauh dulu dari Naruto dan Sakura…Aku mencoba melupakan Naruto, kalau terus bertemu dengannya aku selalu memikirkan tentangnya." ucap Hinata lirih.
"Itu bagus, tapi kau juga jangan membuat orang lain khawatir." Ino merangkul sahabatnya itu. Dia sangat prihatin pada apa yang terjadi pada Hinata, sudah cukup bagi Hinata untuk disakiti oleh orang yang sangat ia cintai tetapi rasa sakit itu ditambah oleh seorang sahabat yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri.
Kedua sahabat itu pun berjalan menuju kelas. Sesampainya di kelas mereka menaruh tas di atas meja masing-masing kemudian duduk dan kembali bercakap-cakap. Tak lama kemudian bel pun berbunyi menandakan pelajaran akan di mulai.
Hinata memperhatikan bangku kosong yang berada di pojok depan dan bangku yang berada di sampingnya, yang merupakan bangku milik Naruto dan Sakura.
Mereka tampaknya tak masuk sekolah, kenapa? Padahal Sakura tidak suka membolos, begitupla dengan Naruto.
Hinata tanpa sadar tiba-tiba memikirkan mereka berdua, lalu ia langsung menepis semua pikirannya itu. Tapi pikiran-pikiran itu muncul kembali dalam benaknya karena walaupun Hinata telah dikhianati oleh mereka berdua, ia tetap menyanyangi mereka berdua sama seperti sebelumnya.

oOo

"Hinata, sejak tadi sepertinya kau tidak fokus belajar ya?" Ino duduk di hadapan Hinata sambil membawa bekalnya. "Tumben sekali lho kau bengong dalam pelajaran, kau kan anak teladan." Sambung Ino. Hinata hanya diam, "Jangan-jangan kau memikirkan dua orang bodoh itu ya?" tanya Ino sedikit jengkel.
Hinata hanya mengangguk lalu, "Aku khawatir pada mereka berdua, tidak bisanya mereka membolos."
Ino memegang keningnya, ia frustasi mendengar pernyataan dari sahabatnya tersebut. "Hinata kenapa kau masih saja mengkhawatirkan mereka sih? Sudah jelas mereka mempermainkanmu, tapi kenapa kau masih saja seperti ini?" kali ini Ino semakin jengkel pada Hinata.
"Itu karena aku masih menyayangi mereka, mereka adalah orang yang sangat berarti bagiku." Hinata menatap Ino dengan pandangan yang nanar.
"Ok kalau begitu, aku tidak mau membicarakan mereka lagi, membuatku kesal saja. Dan kalau kau mau tau mereka tak masuk karena apa. Itu semua karena aku, kemarin aku bertemu dengan mereka berdua dan menghajar si brengsek Naruto dan menampar Sakura dengan cukup keras. Mungkin bekas tamparanku masih berbekas dan ia malu untuk ke sekolah. Aku melakukan semua itu untuk menggantikanmu melakukannya, karena aku tau kau pasti tak akan bisa. Jadi sekarang kau tak usah memikirkan mereka lagi." Ino langsung menyantap makanannya tanpa melihat ekspresi Hinata yang kaget.
"Ta..tapi Ino…" ucapan Hinata terhenti saat melihat tatapan Ino yang sangat menyeramkan. "Baiklah, aku tak akan membahas mereka lagi." lanjut Hinata.
Setelah itu mereka menghabiskan bekal mereka dalam diam, tak ada satu pun dari mereka yang berbicara hingga bekal habis.
"Hinata, kau sudah bertemu dengan dokter di ruang kesehatan? Namanya Sasuke sensei, dia sangat tampan dan keren." Ino memecahkan keheningan diantara mereka yang membuat suasana kurang nyaman.
Hinata diam sejenak, tiba-tiba dia teringat dengan orang yang tadi tertabrak olehnya. "Sepertinya sudah."
"Bagaimana pendapatmu tentangnya?" tanya Ino dengan sangat bersemangat.
"Sama seperti pendapatmu." jawab Hinata singkat.
"Sudah kuduga, dia memang tampan dan keren masih muda lagi, kurasa dia juga belum punya pacar." Hinata hanya tersenyum simpul saja mendengarkan ocehan Ino sampai handphonenya berbunyi.
Hoshii mono nante nai yo
suterarenai mono bakari aru
ryoute hirogete Say Goodbye
dekita nara ki ga raku ni naresou
Hinata mengambil handphonenya dari saku, lalu ia membuka email yang baru saja masuk.
From: Itachi-kun
Konnichiwa Hinata-chan..
Bagaimana kabarmu hari ini?Sudah merasa lebih baik?
Hinata tersenyum membaca email dari Itachi, Ino yang melihatnya hanya terheran melihat Hinata.
"Email dari temanmu?" tanya Ino penasaran.
Hinata hanya mengangguk, lalu membalas email dari Itachi.
To: Itachi-kun
Konichiwa Itachi-kun, kabarku baik..
Yah, aku msih sama seperti kemarin, tak bisa berhenti memikirkan mereka berdua.
Tak lama kemudian Hinata mendapat email balasan, Ino yang melihat Hinata sibuk dengan handphonenya, pergi meninggalkan Hinata untuk ke toilet dan sepertinya Hinata tak menyadari kepergiannya. Ino hanya menggelengkan kepalanya melihat Hinata tersenyum sendiri pada layar handphonenya.
From: Itachi-kun
Syukurlah kalau kau baik-baik saja.
Kenapa lagi memangnya dengan mereka berdua?
To: Itachi-kun
Hari ini mereka berdua tidak masuk sekolah dan ternyata penyebabnya karena kemarin mereka berdua dilabrak oleh Ino.
From: Itachi-kun
Wah, ternyata Ino galak juga ya…
To: Itachi-kun
Haha, iya…
Ino memang agak galak, tapi dia seorang sahabat yang baik. Kau pasti menyukainya kalau kalian bertemu.
From: Itachi-kun
Sepertinya persahabatan kalian itu menyenangkan sekali yah?
Bel tanda istirahat telah berakhir sudah berbunyi, Hinata pun berniat mengakhiri komunikasinya dengan Itachi-sang sahabat mayanya.
To: Itachi-kun
Ya begitulah…
Oh ya, aku sudah harus belajar lagi, jadi kita sudahi dulu ya saling emailnya…
From: Itachi-kun
Ok, kau harus semangat belajar ya, jangan memikirkan hal yang membuatmu resah selama belajar…
Ganbatte Hinata-chan
To: Itachi-kun
Hai, aku akan beerusaha…
Hinata lalu memasukan hanphone kedalam saku roknya, dia baru menyadari bahwa Ino sudah tidak ada di hadapannya lagi. Tanpa banyak berpikir Hinata memasukan tempat bekalnya yang telah kosong kedalam tas. Tiba-tiba ia di kejutkan oleh Ino yang berlari dari luar dan menghampirinya.
"Hosh…hosh…"
"Kau dari mana saja Ino?" tanya Hinata yang heran melihat sahabatnya kehabisan nafas.
"Tadi…aku habis…dari…toilet…lalu aku…mengintip…Sasuke sensei..di ruang..kesehatan…" ucap Ino masih dengan nafasnya yang tersenggal-senggal.
"Apa? Kau mengintip…" saking kagetnya Hinata tak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Bukan seperti yang kau pikirkan, aku Cuma…" ucapan Ino terpotong karena Kakashi sensei sudah memasuki kelas.
Ino pun kembali ke bangkunya, dia kemudian menyobek sepotong kertas lalu menuliskan sesuatu dan memberikannya kepada Hinata yang duduk disampingnya. Hinata lalu membuka lipatan kertas itu.
Kyaa…
Hinata, aku sangat senang…!
Tadi aku mengintip Sasuke sensei dari pintu ruang kesehatan, aku melihatnya melepas kacamatanya, keren sekali. Dan dia juga sedang tersenyum sendiri memandangi handphonenya. Senyumnya bisa membuat siapa saja jatuh cinta padanya. Pokoknya aku senang, tapi sayang kau tak sempat melihatnya.
Selesai membaca itu, Hinata menoleh kearah Ino dengan pandangan yang menyiratkan keheranan. Dia tak habis pikir kalau ternyata temannya suka memata-matai oranglain. Ino hanya mengankat bahu menanggapi tatapan dari Hinata.

oOo

Pagi itu Naruto menghampiri Hinata dan menariknya ke halaman belakang sekolah, sudah dua minggu sejak peristiwa Naruto dan Sakura diberi pelajaran oleh Ino. Hinata yang merasa tidak nyaman dengan perlakuan Naruto pun menolak, tapi kekuatan Hinata tak sebanding dengan Naruto. Jadi Hinata pun masih diseret oleh Naruto, sesampainya di halaman belakang sekolah sudah ada Sakura yang sedang duduk di ayunan. Saat melihat Hinata dan Naruto datang, Sakura langsung bangkit dari ayunan dan berjalan menghampiri mereka berdua.
"Ma..mau apa kalian…?" wajah Hinata sudah pucat pasi kanena panic. Dia menarik tanganya yang masih dicengkram oleh Naruto. Naruto yang baru menyadari kalau tangannya masih mencengkram pergelagan tangan langsung melepaskan cengkramannya.
"Gomen."
"Hinata, kami…" Sakura terdiam sejenak, dia kemudian menarik nafasnya dalam-dalam "…kami minta maaf atas perbuatab kami yang telah banyak membuatmu terluka." Sakura menundukan wajahnya seraya malu atas perbuatannya selama ini pada sahabatnya itu.
"Ya, kami benar-benat minta maaf. Kami mohon maafkanlah kami." lanjut Naruto.
Hinata benar-benar terkejut mendengar permintaan maaf dari Sakura dan Naruto, dia masih tidak percaya dengan pendengarannya yang mungkin saja salah mendengar kata-kata mereka.
"Hinata, gomen." Sakura meraih tangan Hinata dan menggenggamnya, membuat Hinata sadar dan kembali pada dunia nyata.
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Sakura, begitupun Hinata. Hianata tersennyum pada Sakura, lalu memeluknya dengan erat sambil berkata, "Hn, aku sudah memaafkanmu. Aku tak bisa membencimu dan Naruto karena kalian adalah orang yang berharga bagiku."
Mendengar kata-kata Hinata, Sakura menangis sejadi-jadinya karena sangat terharu dengan sikap Hinata yang amat pemaaf. Naruto menghapus genangan airmata di pelupuk matanya karena malu jika ketahuan menangis oleh Hinata dan Sakura. Setelah itu, mereka kembali ke dalam kelas bersamaan, lalu Sakura dan Naruto juga meminta maaf pada Ino dan Ino hanya memarahi mereka berdua serta memperingatkan agar tidak melakukan hal seperti itu lagi atau mereka berdua akan mendapatkan balasan darinya.

oOo

"Hatchi…" Hinata mengusap hidungnya dengan sapu tangan. Dalam satu menit dia sudah lima kali bersin.
"Hinata sepertinya kau kena flu." ucap Sakura.
"Badanmu juga panas, kau demam. Lebih baik kau istirahat di ruang kesehatan." Ino memegang kening Hinata yang memang panas.
"Tidak mau, aku mau belajar saja." tolak Hinata.
"Memangnya kau ngapain aja sih sampai bisa demam begini?" tanya Ino khawatir.
"Kemarin aku kehujanan saat membeli belanjaan, lalu aku tidur terlalu larut karna terlalu asyik beremail dengan Itachi." Hinata menjawab sambil tersenyum malu.
Ino hanya mengelengkan kepalanya sedangkan sakura tersenyum mendengar jawaban dari Hinata. Ya, persahabatan mereka kini kembali seperti semula dan Sakura masih berpacaran dengan Naruto. Dan Hinata menafsirkan perasaannya kepada Naruto hanya sebagai sahabat.
"Ini sih namanya demam cinta." Ino menyindir Hinata.
"Maksudmu?" Hinata benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Ino.
Ino menepuk keningnya sendiri sementara Sakura tertawa geli sekali.
"Sakura, jelaskan padanya." Ino menepuk bahu Sakura.
"Baiklah. Begini maksudnya, kau itu demam karena sedang jatuh cinta pada itachi." Sakura melanjutkan tertawanya. Sementara muncul semburat merah di wajah mulus Hinata.
"Tidak, aku tidak sedang jatuh cinta padanya." sanggah Hinata yang masih menyembunyikan semburat merahnya.
"Sudahlah, kami sudah tau kau jatuh cinta padanya, tidak usah malu pada kami. Lagipula wajahmu sudah seperti kepiting rebus begitu, kau tidak bisa berbohong pada kami." Ino melemparkan pandangan jahil pada Hinata.
"Kalian berdua hentikanlah menggodaku." Hinata mengerucutkan mulutnya, membuatnya tampak lucu.
"Iya, tapi kau harus ke ruang kesehatan." Ino menarik tangan Hinata dan menuntun Hinata dengan dibantu oleh Sakura.
Sesampainya mereka di ruang kesehatan, Hinata di baringkan di ranjang lalu di pasangkan termometer.
"Sepertinya demammu cukup tinggi." gumam Sasuke sensei sambil melihat angka di thermometer. "Hari ini kau istirahat saja disini, tak usah kebali ke kelas dulu." Sasuke sensei menulis sesuatu di jurnalnya. "Oh iya, kenapa kau bisa sampai demam seperti ini." tanya Sasuke sensei.
Sebelum sempat Hinata berbicara, Ino sudah mendahuluinya. "Dia terkena demam cinta pada teman dunia mayanya sensei."
Wajah Hinata pun bersemu merah karena malu, Sasuke sensei hanya tersenum menanggapi jawaban Ino.
"Ya sudah, kalau begitu sekarang kau istirahat saja." Sasuke sensei membetulkan letak selimut Hinata. "Dan untuk kalian berdua, cepat masuk kelas karna pelajaran akan segera di mulai." Sasuke sensei mengarahkan Ino dan Sakura agar tak terlambat dan agar Hinata bisa beristirahat dengan tenang.
Sakura dan Ino pun menggeser pintu dan keluar, ketika di lorong mereka saling berbisik. "Ternyata Sasuke sensei bisa tersenyum lembut juga ya, aku kira dia itu tidak akan pernah tersenyum."

oOo

Sekarang pukul 20.05, Hinata sedang berbaring di ranjangnya yang nyaman ketika tiba-tiba handphonenya berdering.
hoshii mono nante nai yo
suterarenai mono bakari aru
ryoute hirogete Say Goodbye
dekita nara ki ga raku ni naresou
Hinata langsung menyambar handphonenya yang berada di samping kepalanya, lalu membaca email yang masuk.
From: Itachi-kun
Konbanwa…
Hinata bagaimana keadaanmu? Apa demammu sudah turun?
Hinata merasa heran bagaimana Itachi tau kalau dirinya sedang menderita demam. Lalu ia pun menanyakannya.
To: Itachi-kun
Konbanwa…
Demamku sudah mulai turun, tapi bagaimana kau tau kalau aku sedang demam?
From: Itachi-kun
Hi-Mi-Tsu
To: Itachi-kun
Aaa..
From: Itachi-kun
Baiklah akan kuberitahu.
Sebenarnya aku punya indra keenam.
To: Itachi-kun
Hufth, kau malah bergurau…,
From: Itachi-kun
Jangan ngambek begitu, wajahmu jadi tidak cantik lagi tau.
To: Itachi-kun
Sok tau sekali, memang kau pernah melihat wajahku?
From: Itachi-kun
Hampir setiap hari aku selalu melihatmu.
To: Itachi-kun
Itachi-kun serius?
From: Itachi-kun
Haha…
Aku hanya bercanda, kau itu memang polos sekali yah?
Oh iya, bagaimana kalau kau sudah sembuh kita bertemu?
Degup jantung Hinata meningkat, cukup lama dia tak membalas email dari Itachi. Dia sangat sengang karena Itachi mengajaknya bertemu karena Hinata sangat ingi bertemu dengannya secara langsung.
To: Itachi-kun
Ya, baiklah…
Hanya itu yang bisa ia katakan, ia tak tau harus mengatakan apalagi.
From: Itachi-kun
Kalau begitu nanti ku kabari lagi.
Sekarang kau lanjutkan saja beristirahat agar cepat sembuh, ok?
Oyasumi..
To: Itachi-kun
Ok, aku tunggu kabar darimu…
Oyasumi…
Hinata pun menaruh handphonenya di atas meja belajar, lalu ia kembali berbaring di ranjangnya dan menutupi tubuhnya dengan selimut lalu terlelap.

oOo

Hinata berjalan menuju sebuah café, dia mengenakan semi dress selutut berwarna ungu, sepatu sandal tak ber hak serta rambut panjang yang tergerai tapi di beri sebuah bandana. Terlihat cantik sekali, walaupun sederhana. Sesampainya di café, dia membuka pintu café tersebut lalu memasukinya dan terlihat seperti mencari seseorang. Yup, dia dan Itachi janjian bertemu di café ini.
Hinata kemudian menemukan sesosok laki-laki yang bercirikan mirip dengan deskripsi Itachi. Laki-laki itu memakai sebuah kaos berwana biru dan memakai celana jins serta sepatu kets, Hinata lalu menghampiri laki-laki itu. Laki-laki itu menghadap ke seberang, jadi Hinata tak bisa melihat wajahnya. Hinata berhenti tepat di belakang laki-laki itu dan mengatur nafasnya agar tenang, jantungnya berdegup dengan kencang.
"Ano…Sumimasen, apakah anda Itachi?" tanya Hinata ragu-ragu.
Laki-laki itu menoleh, saat Hinata melihat wajahnya seakan jantungnya berhenti berdetak dia sangat kaget.
"Sasuke sensei?" Hinata menutup mulutnya, lalu dia pun sadar kalau ia ternyata salah mengira Sasuke sensei sebagai Itachi. "Maaf sensei, aku salah orang." Hinata membungkukan badannya untuk meminta maaf, sebelum Hinata berjalan meninggalkan Sasuke, tangannya telah ditahan oleh Sasuke.
"Sensei?" Hinata keheranan dengan sikap Sasuke.
"Duduklah." pinta Sasuke lembut.
"Tapi sensei, aku sedang janjian dengan seseorang."
"Tak usah mencemaskan hal itu."
"…." Hinata semakin heran.
"Itachi adalah aku." ucap Sasuke santai.
"Apa?" Hinata sedikit terlonjak.
"Haha. Tak kusangka kau sampai sekaget ini." Sasuke mentertawakan reaksi Hinata yang benar-benar lucu.
"Sensei…kau bergurau kan?" tanya Hinata memastikan ucapan Sasuke.
"Tidak, Itachi adalah nama kakaku dan aku sering memakai nama itu kalau di situs jejaring social." ucap Sasuke dengan masih santainya.
Hinata masih tidak bisa menerima apa yang Sasuke ucapkan, semuanya terasa bagai mimpi untuknya. Jantungnya sekarang benar-benar berdegup dengan kencang. Pembicaraan di antara mereka berdua pun mengalir dengan panjang. Mereka membahas apa saja dalam percakapan mereka, ternyata sifat cool dan dingin yang Sasuke tampilkan di sekolah adalah topeng agar para siswi tak ada yang berani mendekatinya. Sifat sebenarnya Sasuke adalah sedikit humoris, santai dan hangat. Tak terasa mereka berbincang hingga petang. Sasuke mengantarkan Hinata sampai di depan rumah Hinata. Sebelum Hinata memasuki halaman rumahnya, Sasuke memberikan sebuah kotak berwarna violet.
"Bukalah kotak itu setelah kau di kamar." ucap Sasuke sebelum pergi meninggalkan Hinata di depan gerbang.
Hinata berlari menuju rumahnya, dia buru-buru melepaskan sepatu sendalnya dan dia langsung menuju kamarnya. Dia mengunci pintu kamar dan membaringkan dirinya di atas ranjangnya dan dengan hati-hati membuka kotak yang di berikan oleh Sasuke.
Di dalam kotak itu terdapat coklat dan sebuah surat. Hinata membuka surat itu dan membacanya.
Pertama kali mengenalmu aku merasa iba denganmu yang di campakan oleh kekasihmu, tapi semakin lama perasaan itu berubah menjadi benih-benih cinta. Apalagi setelah bertemu langsung denganmu, kau seorag gadis yang baik dan polos. Maaf selama ini aku selalu memperhatikanmu, itu karena kau membuaku semakin penasaran dengan apa yang aku rasakan. Dan sekarang aku benar-benar yakin dengan apa yang kurasakan.
Aku mencintaimu Hyuuga Hinata.
Aku ingin sekali menjalin hubungan denganmu, jika ku menjawab perasaanku, besok sepulang sekolah datanglah ke ruang kesehatan, aku akan menunggumu disana.
Sasuke Uchiha
Hinata benar-benar kaget setelah membaca surat itu, di wajahnya muncul semburat merah. Dia tersenyum lalu memeluk surat itu dalam dekapannya.

oOo

Murid-murid sedang memasukan buku-bukunya ke dalam tas dan bergegas pulang, begitu pun dengan Hinata. Sedari pagi wajah Hinata terlihat sumringah dan sering tersenyum sendiri.
"Hinata, kemarin pertemuanmu dengan Itachi lancar ya?" tanya Ino yang memang sangat penasaran karena Hinata tak menceritakan padanya.
Hinata hanya tersenyum dan mengangguk, lalu dia berlari keluar kelas meninggalkan kedua sahabatnya serta Naruto yang berada di kelas.
"Kalian pulang duluan saja, aku masih ada urusan." ucap Hinata sebelum menghilang di baik pintu.
"Dia kenapa sie?" tanya Ino yang benar-benar dengan sikap Hinata hari ini.
"Aku tak tau." jawab Naruto dan Sakura berbarengan.
Hinata berlari di koridor yang sepi, dia menuju ke ruang kesehatan. Kerika sampai di depan ruang kesehatan, Hinata berhenti sejenak untunk mengatur nafasnya yang habis lalu menggeser pintu ruangan tersebut. Di dalam ruangan ada Sasuke yang sedang duduk di kursinya, dia menoleh kearah pintu saat mendengar seseorang menggesernya. Sasuke tersenyum ketika melihat Hinata yang berada di sana.
Hinata berjalan menghamiri Sasuke, dia menunduk malu. "Sensei, aku…"
Sebelum Hinata menyelesaikan kalimatnya, Sasuke sudah memeluknya, membuat wajah Hinata benar-benar memerah.
"Terima kasih Hinata." ucap Sasuke dengan tulus.
"Hn." hanya itu yang Hinata katakan.
Tiba-tiba Sasuke melepas pelukannya pada Hinata, "Hei, kau tau kan konsekuensinya kalau menjalin hubungan dengan guru?" tanya Sasuke dengan nada yang serius.
"Ya, aku tau dan aku sudah memikirkannya" Hinata menjawab sambil memandang mata Sasuke.
Sasuke tersenyum dengan hangatnya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Hinata dan mencium lembut bibirnya.
"I love you Hinata." bisik Sasuke di telinga Hinata.
"Love you too sensei." balas Hinata.
Kini dimulailah kisah cinta rahasia yang terlarang antara guru dan murid di SMA Konoha.

-Fin-

mau liat lebih banyak lagi fanfic buatanku? Click link di bawah ini..


mind to review??