Rabu, 29 Mei 2013

Broken Promise



Broken Promise by yoshioka_winna

Warning!!
Dilarang memplagiat, mengcopas dan mempublikasikan cerita ini tanpa seizin penulis.

enjoy the story!

Langit pada malam ini tidak berbintang, karena sejak sore awan menjadi kelam dan langit terus mengguyur bumi dengan hujan hingga saat ini. Seorang anak laki-laki memandang hujan dengan kesal dari jendela kamarnya, mata birunya memancarkan kebosanan karena ia tidak bisa ke hutan dengan cuaca seperti ini. Hutan adalah segalanya untuk anak laki-laki itu. Tempat itu menjadi halaman bermain sekaligus penyambung hidupnya selama ini. Anak laki-laki itu mengacak rambut pirangnya yang pendek dan mendesah.

“Aku bosan!” Keluhnya.

“Dari pada kau mengeluh seperti orang bodoh, lebih baik kau mengasah anak panah, Dare.” Ucap seorang remaja yang duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya pada kaki ranjang. Remaja itu terus mengasah anak panahnya dalam diam.

Anak laki-laki yang dipanggil Dare memandang remaja yang lebih tua empat tahun darinya sambil cemberut. “Aku ingin ke hutan, bukannya mengasah anak panah. Lagipula aku tidak ingin melihat ayah membawa wanita kesini.”

Baru saja Dare menyelesaikan ucapannya, pintu depan terbuka dengan bunyi yang keras, lalu terdengar teriakan keras yang memanggil kedua anak laki-laki tersebut.

“Daree! Jim! Bawakan aku handuk!” suara itu begitu kasar hingga membuat Dare berjengit kaget.

Jim, sang remaja dan merupakan kakak dari anak laki-laki yang bernama Dare tidak mendengarkan perintah ayahnya, sehingga membuat Dare langsung keluar dari kamarnya dan menuju kamar mandi untuk mengambil handuk dan memberikannya pada sang ayah yang masih berdiri di depan pintu, tubuhnya yang basah membuat lantai tergenang air. Sang ayah berjalan masuk tanpa peduli ia membasahi seluruh lantai di ruang tamu.

Sang ayah berhenti ketika menyadari tidak ada kehadiran seseorang di belakangnya, dan ia berbalik dan berteriak kearah pintu. “Hei bocah, cepat masuk!”

Dare yang sedang mengepel air yang menggenang di lantai kaget ketika menyadari sesosok gadis kecil yang melangkah memasuki rumahnya dengan ketakutan, bukannya seorang wanita dengan pakaian seksi yang menjual diri. Sebagian wajahnya tertutup oleh poni dan rambut hitamnya yang panjang basah karena hujan. Gadis kecil itu memakai mantel coklat yang terlihat cukup mahal yang juga basah. Dare bertanya-tanya dari mana ayahnya mendapatkan gadis kecil ini. Apakah ia anak ayahnya dari wanita lain? Pikirnya.

“Dare, urus dia! Mulai sekarang dia tinggal bersama kita.” ayahnya menunjuk gadis kecil itu dengan wajahnya yang kasar.

Jim yang penasaran karena mendengar ribut-ribut akhirnya keluar dari kamar dan melihat seorang gadis kecil yang berdiri di depan pintu rumahnya. Dare berlari melewatinya untuk mengambil handuk kering di kamar mandi. Jim hanya mengamati gadis kecil itu dengan pandangan mengintimidasi dan kembali ke kamarnya.

Setelah Dare mengambil handuk kering dan kembali ke gadis kecil itu, ia menyodorkan handuk tersebut pada gadis kecil itu yang dengan ragu-ragu mengambilnya. Gadis kecil itu mengintip Dare dari sela-sela poninya yang cukup panjang, tapi ketika ia tahu Dare sedang mengamatinya gadis kecil itu kembali menundukan kepalanya dan gemetar ketakutan. Setelah merasa gadis kecil itu cukup kering, Dare menuntunnya dengan hati-hati ke dalam dan membawa tas yang cukup besar yang berada di samping gadis kecil itu.

Setibanya mereka di kamar Dare dan Jim, gadis kecil itu hanya berdiri di tengah ruangan. Jim tidak peduli dengan keberadaan gadis kecil tersebut, sedangkan Dare kasihan melihat gadis yang terlihat lebih muda darinya berdiri gemetar karena kedinginan.

Dare menghampiri gadis itu setelah menaruh tas di sudut ruangan. “Kau bawa baju ganti kan? Lebih baik kau ganti baju agar tidak kedinginan.” Ucap Dare dengan pelan. Dare prihatin melihat gadis kecil yang ketakutan dan gemetaran. Gadis itu terlihat sangat rapuh.

Gadis kecil itu hanya mengangguk dan menuju tas yang tadi di letakan Dare di sudut ruangan dan mengambil kaus dan celana dari dalam tas tersebut lalu kembali menuju Dare. Dare pun menuntunnya menuju kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah mereka, dekat dengan dapur. Dare menunggu hingga gadis kecil itu selesai berganti baju dan kembali ke kamarnya.

“Aku tidak mau menyerahkan ranjangku.” Kata Jim dengan dingin setibanya Dare dan gadis kecil itu di kamar.

Dare juga bingung memikirkan gadis itu akan tidur dimana, karena dikamarnya hanya ada dua ranjang dan kedua ranjang tersebut hanya cukup untuk satu orang. Tanpa berkata apa-apa gadis kecil itu langsung berlari ke sudut ruangan dimana tasnya berada dan duduk sambil memeluk lutut serta menyembunyikan wajahnya.

“Hei, kau akan tidur disana?” tanya Dare, dan tak ada jawaban apa pun dari gadis kecil itu. Akhirnya Dare hanya meletakan selimut di depan gadis kecil  itu lalu menuju ranjangnya dan sekali lagi memandang gadis kecil yang sedang meringkuk disudut ruangan sebelum ia menyelimuti dirinya dan memejamkan mata, berharap besok hari akan cerah dan ia bisa menghabiskan waktu di hutan untuk berburu tupai.

.

Gretel tidak menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu semalam, yang di ingatnya hanyalah pergi ke konser orchestra bersama kedua orang tuanya, lalu ia tertidur di mobil dalam perjalanan pulang. Tapi yang dilihatnya saat bangun hanyalah ruangan serba putih dan bau steril obat-obatan yang menyengat penciumannya, yang ia rasakan hanyalah nyeri pada seluruh tubuhnya, terutama tangan kanannya serta kepala yang seperti habis dihantam oleh benda besar. Ia tidak tahu kenapa dan mengapa ia berada di rumah sakit.

Ketika dokter dan perawat datang bersama polisi serta seseorang bersetelan jas yang tak dikenalnya menjelaskan kejadian yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya dan menyebabkannya terluka dan patah tulang, Gretel terdiam sesaat untuk mencerna semua informasi itu di otaknya lalu berteriak dan menangis, membuatnya harus diberikan obat penenang agar tidak membahayakan dirinya sendiri.

Berada di rumah sakit selama sebulan untuk menyembuhkan segala lukanya dan melewatkan pemakaman orang tuanya, Gretel hanya bisa terus menangis. Ia sadar bahwa ia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini dan ia tidak bisa terus-menerus tinggal di rumah sakit, pengacara keluarganya mengatakan padanya bahwa ibunya mempunyai saudara sepupu dari ibu tirinya yang bersedia untuk merawatnya.

Dua hari berikutnya, orang yang dibicarakan oleh pengacara keluarganya muncul di rumah sakit untuk membawanya pulang. Gretel tidak menyangka bahwa orang yang akan menawarkan untuk merawatnya adalah seorang laki-laki, ia berasumsi bahwa sepupu ibunya adalah perempuan.

Pria itu selalu tersenyum dan membujuk Gretel untuk pergi bersamanya, tapi Gretel tidak percaya dengan pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Jared Frost. Instingnya mengatakan bahwa pria itu menyeramkan dengan senyum palsu yang bertengger di wajahnya. Tapi Gretel tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mengikuti pria itu.

Sikap pria itu yang sebelumnya ramah dan selalu tersenyum berubah ketika mereka berada di mobil dan melaju meninggalkan Atlanta menuju rumahnya di sebuah kota kecil. Jared berbicara dengan kasar dan mengatakan bahwa Gretel tidak bisa meninggalkan rumahnya hingga berusia legal dan hartanya ia serahkan pada pria licik itu.

“Kalau kau mengadu pada pengacara bodoh itu, kau akan berharap bahwa kau lebih baik ikut mati bersama kedua orang tuamu.” Ancam Jared pada Gretel, membuat gadis kecil berusia sembilan tahun itu ketakutan dan hanya mengangguk.

Setibanya di rumah Jared, mereka berdua terguyur hujan setelah keluar dari mobil dan berlari menuju pintu. Gretel hanya mengekor Jared dalam diam. Dia gemetar kedinginan karena mantel serta bajunya basah. Jared berteriak memanggil dua nama ketika di depan pintu dan menyuruh mengambil handuk. Gretel hanya bisa diam ketika Jared masuk ke dalam rumah dan ia melihat seorang anak laki-laki mengepel lantai basah yang disebabkan oleh Jared.

Ketika Jared menyuruhnya masuk dengan kasar, Gretel tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Rasanya ia ingin menangis, tapi jika ia menangis, ia tahu pria itu pasti akan berteriak atau bahkan memukulnya tanpa ragu.

Saat Darebegitu yang Gretel dengar, menyerahkan handuk kering padanya, dengan ragu-ragu ia mengambilnya. Ia mengeringkan tubuhnya sambil melirik kearah Dare yang juga sedang memperhatikannya, merasa takut pada tempat dan orang asing, Gretel kembali menundukan kepalanya.

Dare menuntunnya ke kamar nya dan mengantarnya ke kamar mandi, ia merasa bahwa anak laki-laki itu orang yang baik, tidak seperti remaja yang sedang tidur diranjangnya, begitu dingin sama seperti Jared.

Gretel hanya meringkuk di sudut ruangan, menyembunyikan wajahnya untuk menangis dalam diam, tak ingin mengganggu orang-orang asing yang baru ditemuinya. Dalam tangisannya ia berdoa pada tuhan agar ia segera tebangun dari mimpi buruk ini, hingga ia tertidur dalam posisi fetal di lantai yang dingin, hanya berselimutkan kain tipis dengan air mata yang mengering di pipinya.

.

Keesokan harinya Dare terbangun oleh suara  Jim yang mengumpat pada alarmnya.

“Alarm sialan! Aku ingin tidur, ini hari minggu!” umpat Jim sambil membanting alarm itu ke lantai.

Dare mendengar suara memekik, dan tersadar bahwa ada orang asing di kamarnya. Ia melihat gadis itu masih dalam posisi sama seperti semalam, memeluk lututnya. Dare penasaran apa gadis kecil itu tidur dalam posisi itu, atau malah tidak tertidur sama sekali.

“Jim, kau membuat gadis itu ketakutan.” Komentar Dare.

“Masa bodoh!” balas Jim yang kembali tidur.

Dare melihat jam yang berada di dinding kamarnya, menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Dare akhirnya bangun dan mengambil baju ganti lalu ke kamar mandi. Ia bukan orang yang suka bangun pagi, tapi ia adalah orang yang paling pertama bangun di dalam rumah ini. Jim selalu bangun jam delapan, walaupun hari sekolah, hingga sering menyebabkannya telat, sedangkan ayahnya selalu bangun di siang hari karena terlalu banyak minum alcohol.

Sekembalinya Dare ke kamarnya, Jim maupun gadis kecil itu masih dalam posisi ia meninggalkan kamar. Tadinya Dare ingin pergi ke hutan, tapi setelah melihat gadis kecil itu dan berpikir jika ia meninggalkannya sendirian, gadis itu mungkin akan jadi korban amarah ayahnya ketika bangun tidur, jadi Dare menghampiri gadis tersebut.

“Hei, lebih baik kau mandi, lalu ikut denganku.” Ucap Dare.

Gretel bangkit dengan ragu-ragu dan berjalan menuju kamar mandi. Segala yang dilihat Dare dari gadis kecil itu adalah ketakutan dan keragu-raguan serta rapuh. Membuatnya kembali teringat akan ibunya yang telah meninggal dan menimbulkan rasa ingin melindunginya agar tidakk hancur.

Setelah Gretel, Dare langsung menuntunnya menuju hutan. Gretel tidak mengatakan sepatah kata apapun dan tetap dalam keadaan diam hingga mereka tiba di tepi hutan lima belas menit kemudian.

“Hei, kenapa kau tidak mengatakan sepatah kata pun?” tanya Dare penasaran.

Gretel hanya terdiam sambil menunduk.

“Apa kau bisu?” tanya Dare lagi.

Gretel menggelengkan kepalanya, membuat rambut hitam panjangnya bergoyang.

“Hm, mungkin kau takut ya padaku?” Dare menhela napas, “Mungkin ayah dan kakak ku memang menakutkan, tapi aku ini tidak seperti mereka. Yah, walaupun aku tidak tahu siapa kau dan kenapa kau hars tinggal bersama kami, tapi aku tidak bisa membiarkanmu ketakutan terus di rumahku.” Ujar Dare panjang lebar.

Gretel masih terdiam, mencerna ucapan Dare, lalu ia mengangkat kepalanya yang selalu tertunduk dan melihat wajah Dare yang tersenyum tulus.

Dare kaget ketika mendapatkan reaksi dari Gretel dan ketika ia melihat mata gadis kecil itu, ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari mata coklat indahnya.

“Siapa namamu?” tanya Dare spontan.

Gretel terdiam sesaat sebelum menjawab, “Gretel.” Ucapnya dengan pelan.

“Hm, Gretel.” Dare berpikir nama itu agak lucu, seperti nama-nama di dongeng, “Aku Daren, tapi panggil saja Dare.” Ucap Dare sambil tersenyum lebar.

“Ayo, kita masuk ke hutan. Percayalah kau tidak mau kutinggalkan sendiri bersama kakak dan ayahku.”

.

Hari terus berlalu, kini setelah beberapa bulan ,Gretel berteman baik dengan Dare. Mereka sering ke hutan bersama dengan Jim, walaupun remaja laki-laki itu tetap tidak suka keberadaan Gretel.

Pengacara keluarganya datang sebulan sekali untuk mengecek keadaannya dan ia mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja karena ia masih takut dengan Jared.

Jared adalah orang yang paling buruk yang pernah ditemui Gretel selama hidupnya. Pria itu tidak pernah memberi nafkah pada kedua anaknya, apalagi Gretel, selalu berteriak pada mereka dan meluapkan kemarahan pada kedua anak laki-lakinya. Uang yang diberikan pengacaranya untuk biaya hidup Gretel per bulannya dihabiskan untuk membeli alcohol dan membawa prostitusi ke rumah. Hal ini membuat Gretel merasa tidak nyaman karena ia dibesarkan dalam keluarga baik-baik. Dare dan Jim selalu berburu di hutan untuk makan, sedangkan Gretel hanya mengamati dan mempelajari teknik kedua anak laki-laki itu.

“Dare, kau mau mengajariku berburu?” tanya Gretel penuh harap ketika mereka selesai berburu. Dare mendapatkan dua tupai dan Jim mendapatkan lima tupai, sedangkan Gretel hanya mengumpulkan beri liar.

“Kenapa tiba-tiba mau belajar?” Dare balik bertanya dengan heran.

“Aku tidak bisa terus menerus mengandalkan kalian berdua.” Ucap Gretel dengan getir, merasa dia sangat tidak berguna.

“Baiklah, mulai besok kau akan kuajari.” Ucap Dare dengan cengiran khasnya. “Ngomong-ngomong nanti malam kau saja yang tidur di ranjang, aku yang akan tidur di lantai.” Ucap Dare.

Gretel berhenti berjalan mendengar ucapan Dare. Akhir-akhir ini Dare sering sekali menyerahkan ranjangnya pada Gretel, padahal mereka sudah sepakat untuk gantian setiap malam. Merasa tidak enak hati, akhirnya Gretel memngusulkan idenya.

“Kita tidur berdua saja, badanku kan kecil. Aku yakin kita berdua pasti muat.” Ucap Gretel ragu-ragu.

“Tidak, aku tidur selalu berubah posisi, yang ada aku malah menendangmu lagi.” Tolak Dare.

“Kalau kau tidak mau, aku tidak akan pernah mau tidur di ranjang lagi.” Ancam Gretel. Ia tahu bahwa Dare terlalu baik dan ia berbohong seperti itu.

Dare melihat Gretel dengan kaget lalu tertawa lepas, bisa-bisanya Gretel mengancam hal konyol seperti itu. Tapi ia tahu Gretel akan melakukannya, karena gadis kecil itu sangat keras kepala. “Baiklah, tapi tidak jamin kau akan selamat dari tendanganku saat tidur.” Ancam Dare.

“Aku tidak takut.” Gretel pun menjulurkan lidahnya, mengejek Dare. “Dare, kau tahu, teman sekelasku mengejek kita.” Ucap Gretel dengan perasaan yang tiba-tiba berubah menjadi sedih.

“Mereka kita mengejek apa?” tanya Dare dengan antusias.

Gretel melirik Dare, bagaimana bisa ia diejek tapi tidak merasa sedih. “Mereka menjuluki kita Hansel & Gretel yang ditelantarkan ayahnya di hutan, karena namakui Gretel dan kita selalu terlihat di hutan.” Jelas Gretel sedih.

Mendengar itu Dare tertawa, ia kira dijuluki dengan julukan yang sangat jelek karena Gretel terlihat sangat sedih tapi malah dijuluki tokoh dari dongeng.

Gretel menatapnya heran, “Kenapa kau tertawa?” tanya Gretel heran.

“Aku pikir itu bukan julukan yang buruk, lagipula kita memang hampir selalu berada di hutan kan, jadi kau jangan sedih.” Hibur Dare.

“Tapi aku tidak suka kalau mereka mengejek kita. Mereka pikir, kita itu pecundang sama seperti ayahmu dan aku tidak suka ayahmu karena dia selalu memukul dan merendahkan wanita.” ujar Gretel kesal tanpa menyadari bahwa ia mengatakan ketidak sukaannya pada Jared.

Dare terdiam mendengar ucapan Gretel.

Ketika menyadari ucapannya dan melihat ekspresi sedih Dare, Gretel menjadi merasa bersalah. “Maaf.” Ucap Gretel lirih.

Dare menggeleng, “Kau tak perlu minta maaf. Kau tahu, hidup itu tidak adil tapi kau tidak boleh menyerah pada ketidak adilan itu. Asal kau tahu, aku juga tidak suka ayahku. Dia selalu menelantarkan aku dan Jim. Aku sama saja tidak punya ayah, yang aku punya hanya Jim.” Ucap Dare.

“Kau juga punya aku.” Ucap Gretel tanpa sadar.

“Dan kau punya aku.” Balas Dare sambil tersenyum.

Gretel menatap Dare, “Kita saling memiliki.” Gretel tersenyum.

“Janji kau tidak akan pernah meninggalkanku?” tanya Dare, mengulurkan jari kelingkingnya.

“Hn, aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Gretel juga mengulurkan jari kelingkingnya dan mengaitkannya pada jari kelingking Dare.

“Dan aku akan selalu menjagamu.” Mereka saling membuat janji dan tersenyum bersama.

.

Empat tahun telah berlalu sejak Gretel hidup bersama keluarga Frost. Kini mereka hanya tinggal bertiga, karena Jim yang berusia sembilan belas telah memutuskan untuk hidup sendiri. Sebenarnya ia menawarkan Dare untuk tinggal bersamanya, tapi karena Dare tidak bisa meninggalkan Gretel hidup hanya berdua bersama ayahnya maka Dare menolak tawaran itu.

Hidup bersama dengan Jared semakin sulit untuk Dare dan Gretel. Amarah pria itu semakin tidak terkontrol dan ketika mereka berdua melakukan sedikit kesalahan pada apa yang diperintahkan Jared, maka amarahnya akan meledak saat itu juga dan Dare menjadi objek pelampiasannya. Cara Jared memandang Gretel juga sudah mulai berubah, tapi Jared tak pernah melakukan apapun pada Gretel karena itu akan membuatnya kehilangan hak asuh dan harta milik Gretel.

Hari ini pun Jared tak bisa mengontrol amarahnya karena kalah berjudi hingga membuatnya melampiaskan kemarahan pada Dare. Setelah puas mencambuk, memukul dan menendang Dare, Jared langsung pergi entah kemana, meninggalkan Dare yang terluka dan hanya bisa meringkuk di lantai menahan sakit.

Gretel sebenarnya tidak tega melihat Dare dipukuli, tapi jika ia mencoba menghentikan Jared, Dare malah akan lebih terluka lagi, yang bisa dilakukan Gretel hanya menagis dan merasa tidak berguna.

“Dare, maafkan aku.” Gretel menangis sambil meminta maaf akan ketidak berdayaannya.

“Shh, jangan menangis.” Ucap Dare parau, mencoba bangkit dan berjalan dibantu oleh topangan Gretel. Mereka berjalan menuju kamar dan Gretel merebahkan Dare di ranjang lalu mulai mengolesi luka di tubuh Dare dengan salep murah yang dibelinya diam-diam.

Setelah selesai mengolesi luka dan yakin bahwa Dare telah tertidur, Gretel keluar untuk mencari udara segar. Kakinya melangkah dan membawanya ke tepi hutan yang masih berselimutkan salju walaupun musim dingin akan segera berakhir. Tanpa pikir panjang ia memasuki hutan yang mulai gelap karena senja, hanya di hutan dia bisa merasa tenang. Tak aka nada Jared yang bisa melukainya disini, itu yang paling disukainya dari hutan.

Gretel keluar dari hutan saat hari menjadi gelap. Ia melangkahkan kaki dengan keputusasaan, tak sanggup terus hidup untuk melihat penganiayaan yang dilakukan Jared terhadap Dare dan hanya melihatnya dengan tak berdaya dan tak berguna.

Langkah kakinya terhenti saat melihat keramaian di tengah jalan. Rasa penasarannya membuatnya mendekati kerumunan tersebut dan melihat apa yang terjadi. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika melihat Dare tergeletak di aspal dengan berlumuran darah. Tanpa berpikir, Gretel langsung menghambur ke tubuh Dare, ia menangis dan terus memanggil Dare.

“Dare, bangun!” seperti kehilangan akal, hanya itulah yang lakukan hingga petugas medis menyingkirkannya dan membawa Dare ke rumah sakit.

.

Betapa bencinya Gretel terhadap rumah sakit, ia kehilangan orang tuanya disini dan ia juga tidak mau kehilangan Dare di tempat ini.

Dia duduk di depan ruang gawat darurat, menunggu Jim datang karena Jared sama sekali tidak bisa dihubungi. Betapa khawatirnya Gretel pada kondisi Dare, bagaimana ia bisa tertabrak mobil ketika terakhir ia melihatnya Dare sedang tertidur di kamarnya. Yang bisa dilakukan Gretel hanya berdoa pada tuhan untuk melindungi Dare.

Ketika larut dalam doanya, tiba-tiba tubuh Gretel terpojok di bangku yang ia duduki dan ada dua tangan yang mencengkram erat bahunya.

“Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada Dare?” tanya Jim dengan kasar, memperkuat cengkramannya pada bahu Gretel hingga membuatnya meringis kesakitan.

“A-aku tidak tahu, Jim.” Jawab Gretel ketakutan. Gretel  tak pernah bisa mengerti bagaimana bisa Dare mempunyai ayah dan kakak yang kasar, sedangkan Dare sendiri adalah orang yang baik.

“Ah, bullshit! Ini semua gara-gara kau! Pergi dari hadapanku!” bentak Jim.

Gretel yang ketakutan hanya mengikuti perintah Jim. Ia berlari di lorong sambil sesekali tersandung kakinya sendiri. Berlari sejauh mungkin dari Jim yang sedang marah. Ia tahu bahwa sejak awal Jim tidak menyukainya, tapi Jim belum pernah membentaknya seperti itu, dulu Jim hanya akan mengabaikannya.

Saat tiba di rumah, pintu depan sudah terbuka. Gretel masuk dengan hati-hati, dan melihat Jared tergeletak di lantai ruang tamu. Gretel menghampiri Jared dan mengguncang-guncang tubuhnya gar bangun.

“Paman, kau harus bangun. Dare mengalami kecelakaan.” Ucap Gretel. Ia tahu pasti Jared tidak akan pesuli pada keadaan Dare, tapi pemikiran seorang anak yang masih polos seperti dirinya mengatakan bahwa seburuk apapun orang tua pasti akan khawatir ketika anaknya dalam keadaan kritis.

Gretel terus mencoba membangunkan Jared, dan akhirnya setelah beberapa guncangan Jared merespon.
“Apa?” tanyanya kasar, bau alcohol tercium jelas darinya.

“Dare kecelakaan.” Jawab Gretel.

“Apa? Kau mau menemaniku?” ucap Jared melenceng, jelas sekali bahwa ia sedang mabuk. Jared mulai bangkit dan memeluk Gretel. Gretel yakin, bahwa Jared tidak sadar apa yang sedang dilakukannya karena jika Jared dalam keadaaan sadar, ia akan mempertimbangkan hal ini seribu kali karena ia sangat menginginkan harta warisan Gretel.

Merasa ketakutan, Gretel berontak dalam pelukan Jared yang makin erat. Akhirnya Gretel menggigit lengan Jared dengan kuat hingga Jared menjerit kesakitan dan melepas pelukannya, membuat Gretel bisa melepaskan diri dari Jared.

“Bocah sialan, berani sekali kau!” teriak Jared marah.

Gretel berusaha lari menuju pintu, tapi langkah kakinya yang kecil tak sebanding dengan langkah Jared, hingga membuatnya tertangkap lagi oleh Jared. Kali ini Gretel dibanting ke lantai dan Jared mencoba menciumnya, Gretel terus menangis sambil meronta-ronta dan menggapai barang yang bisa dijangkaunya.

Akhirnya tangan mungil Gretel berhasil menggapai perabot keramik, ia langsung mengibaskan piring keramik itu ke kepala Jared hingga keramik tersebut pecah. Jared terlihat kesakitan, tapi tidak melepas kunciannya pada Gretel, akhirnya Gretel mengambil pecahan keramik tersebut dan menusukannya pada tangan Jared beberapa kali hingga lukanya melebar dan Jared melepaskan kunciannya.

Gretel berlari keluar dan meminta tolong, tetapi karena malam sudah sangat larut tidak ada orang yang datang. Dengan tenaga yang ia miliki Gretel berlari menuju hutan sambil sesekali melihat Jared yang mengejar dibelakangnya. Gretel terus masuk ke dalam hutan yang gelap dan licin, adrenalinnya terus berpacu dan membawanya berlari hingga ia tergelinccir dan jatuh berguling ke jurang dan kepalanya membentur batu sebelum ia tercebur ke dalam sungai yang sangat dingin dan mengalir deras.

.

Dare membuka matanya yang terasa berat, sedikit demi sedikit matanya menangkap cahaya yang menyilaukan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk membiasakan matanya terhadap cahaya tersebut. Setelah melihat dengan jelas, ia bingung bukan berada di kamarnya, kepalanya pun terasa lebih menyakitkan dari yang ia ingat.

“Dare, kau sudah sadar!” seru Jim, muncul dihadapan Dare.

“Ugh, aku ada dimana?” tanya Dare.

“Kau di rumah sakit, kecelakaan.” Jawab Jim singkat.

Tiba-tiba otak Dare mengingat kejadian itu. Ketika ia terbangun dari tidurnya, ia sendirian. Tak ada Gretel di manapun. Dare tahu, pasti Gretel pergi ke hutan, tapi hari yang sudah gelap membuat Dare menjadi cemas, jadi ia memaksakan diri untuk bangun dan menyusul Gretel ke hutan. Tapi saat ia menyebrang jalan, ia tertabrak sebuah mobil dan dia tidak mengingat apa-apa lagi.

“Dimana Gretel?” tanya Dare khawatir.

“Tak usah khawatir, dia baik-baik saja.” Jawab Jim, mencoba membuat Dare tenang.

Dare memijit pelipisnya,mencoba meredakan nyeri di kepalanya. “Sudah berapa lama aku disini?” tanya Dare.

“Empat hari.”

“Wow, lama sekali aku tidur.” Ucap Dare kagum pada dirinya sendiri.

“Dasar baby bro bodoh. Aku mau panggilkan dokter dulu.” Ucap Jim lalu keluar menuju nurse station.

.

Seminggu berlalu dan Dare diperbolehkan pulang. Selama seminggu pula Dare tidak bertemu Gretel. Dia tahu bahwa kakaknya pasti melarang Gretel datang ke rumah sakit mengingat kakaknya benci sekali dengan Gretel. Ia heran pada kakaknya, bagaimana bisa ia membenci Gretel yang selalu baik padanya.

Setibanya di rumah, suasana begitu sepi. Tak ada tanda-tanda orang berada di rumah.

“Ah, dimana gadis itu. Aku pulang dia malah tidak ada.” Dare melihat jam yang menunjukan pukul empat sore, “Sekolah usai, pasti dia di hutan.” Gumam Dare yang hendak menyusulnya ke hutan.

“Dare.” Jim meraih tangan Dare dan menahannya pergi.

Dengan heran Dare memandang Jim penuh pertanyaan, “Ada apa?”

“Dia tidak ada disana.”

“Lalu dimana?” Dare bingung, jika bukan di hutan kemana lagi Gretel akan pergi?

“Dia hilang.”

“Apa maksudmu dia hilang?”

Jim langsung menceritakan kejadian yang telah terjadi selama Dare koma. Polisi bercerita bahwa para tetangga mendengar Gretel berteriak minta tolong dan Jared mengejarnya sampai ke hutan, lalu Gretel yang jatuh ke jurang dan terbawa arus sungai dan ayahnya yang sedang ditahan.

“Dia terbawa arus dan tidak bisa ditemukan. Polisi menduga bahwa ia telah meninggal karena hipotermia dan jasadnya tenggelam.”

“Tidak mungkin.” Dare tidak percaya dengan semua yang dikkatakan Jim, “Tidak mungkin!” teriak Dare marah lalu berlari menuju hutan. Jim tak bisa mengejar Dare yang melesat pergi begitu saja.

“Gretel!” panggil Dare ketika tiba di dalam hutan.

“Gretel, aku tahu kau disini. Cepat keluar!”

Tak ada jawaban, hanya suara burung yang terbang di langit dan suara binatang di hhutan.

“Gretel!” panggil Dare sekuat tenaga tapi hutan tetap hening.

“Tidak…Tidak…” Dare mulai meracau, Jim yang baru berhasil menyusulnya hanya memandangnya dengan penyesalan.

Tiba-tiba Dare kehilangan kekuatannya, ia jatuh terduduk di hutan. Ia menangis untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Dunia benar-benar tidak adil karena merenggut satu-satunya yang paling ingin ia lindungi. Satu-satunya yang bisa membuatnya tersenyum tulus dan melupakan betapa tidak adilnya dunia ini.
Takdir benar-benar mengejeknya. Janji yang dibuatnya disini, dihutan ini. Berakhir pula di tempat yang sama, ditempat yang paling dicintainya.

‘The End’

A/N: sebenernya cerita ini prolog dari cerita yang pengen aku buat, tapi berhubung aku belum sempet buat lanjutannya jadi aku post prolognya aja. Tunggu kelanjutan ceritanya ya J

Rabu, 03 April 2013

Cinta Tak Sampai (Original Story) Female Version


Cinta Tak Sampai



By Winna Cesa

WARNING!!
DILARANG MEMPLAGIAT,MENG-CO-PAS DAN MEMPUBLISH CERITA INI TANPA SEPENGETAHUAN AUTHOR UNTUK MENGHARGAI KERJA KERAS AUTOR DALAM MENUANGKAN IDENYA DI CERITA INI. THANKS J
.
Cinta adalah keabadian
Dan kenangan adalah hal terindah yang pernah dimiliki
.

‘Aku tidak percaya dengan yang semua ia katakana, itu tak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin Raffa yang baik dan pengertian melakukan hal semacam itu?’ pikiran Hana terus saja menolak apa yang barusan dikatakan oleh kekasihnya―Raffael. Semakin banyak ia berfikir, pandangannya semakin berkabut. Akhirnya dengan susah payah agar tidak menjatuhkan air matanya, ia berkata. “Jadi yang selama ini kau lakukan hanya demi taruhan.”

Tak ada respon sama sekali dari Raffael, hanya terlihat rahanggya yang mengeras dengan pandangan dingin tak berekspresi, menandakan bahwa semua yang ia katakana benar adanya, bukan hanya sekedar lelucon yang sering ia lontarkan pada Hana.

“Haha. Ternyata itu memang benar.” Hana tertawa hambar, menertawakan kebodohannya selama ini yang begitu mudahnya menelan ucapan laki-laki di depannya.

Tiba-tiba air matanya menitik satu-persatu dan semakin derang mengalir di wajah putih pucatnya. Tanpa belas kasihan Raffael meninggalkan Hana begitu saja tanpa sepatah kata pun.

Merasa marah dan dikhianati, Hana tak bisa membendung tangisannya dan terjongkok untuk menangis terisak. Menangisi semua kebodohannya untuk jatuh cinta pada laki-laki brengsek seperti Raffael, dan Hana menangis hingga tidak ada air mata yang keluar lagi dari mata indahnya.

((foreverlove))

Seminggu pertama semenjak dirinya putus dengan Raffael, Hana terus menangis dan terus-menerus  mengutuk nama Raffael.

Bagaimana mungkin pemuda itu membuatnya berpaling dari tokoh kekasih idamannya di dunia dua dimensi dan membuatnya mencintai laki-laki itu. Tidak seperti kejadian-kejadian sebelumnya, ketika seseorang mendekati Hana, pasti dia tidak perduli pada siapa pun orang itu, termasuk Alfin―ketua tim basket, yang digilai siswi seantero sekolah.  Dan Hana berjanji mulai saat ini dia tidak akan berurusan lagi dengan semua laki-laki dari dunia tiga dimensi, karena mereka hanya bisa membuat sakit hati, terutama Raffael.

Saat para sahabatnya tahu berita bahwa ia telah berpisah dengan Raffael dan menanyakan bahwa gossip Raffael yang memutuskannya, membuat mereka sangat marah dan ingin mendatangi laki-laki itu dan menghajarnya. Tapi Hana melarang mereka karena akan berakibat fatal jika pihak sekolah tahu, jadi ia meminta para sahabatnya untuk tetap diam, walaupun Hana tahu bahwa mereka tidak rela dengan keputusan yang dibuat oleh Hana.

((foreverlove))

Hari demi hari berlalu berganti menjadi minggu dan bulan. Walaupun mati-matian Hana mencoba untuk melupakan Raffael, tampaknya hal tersebut berujung sia-sia. Setiap mendapat kesempatan untuk melamun hal yang dipikirkan hanyalah Raffael, cinta dan penghianatan.

Rasanya sangat sulit ketika mencintai seseorang bersamaan dengan kita membencinya. Rasanya begitu sesak hingga sulit bernafas.

Hampir setiap hari berpapasan dengan Raffael di tangga ataupun kantin juga tidak membantu. Itu hanya membuat Hana ingin meminta penjelasan dari laki-laki itu. Tapi setiap kali mereka berpapasan dan ketika Hana ingin memanggilnya, Raffael bahkan tidak menoleh kearahnya dan seolah-olah Hana tidak pernah eksis di sekolah ini. Hal ini membuat Hana menjadi semakin sedih.

Di saat sedih itu, munculah Davi. Walaupun mereka satu kelas, tapi Hana tidak pernah akrab dengan laki-laki itu. Dan Davi menghapus jarak tersebut dengan insiden penyitaan komik. Disitulah Hana mulai bicara pada Davi dan ternyata mereka punya hobi sama―membaca komik, mendengarkan J-POP dan segala hal berbau anime. Mereka menjadi akrab dan Hana sering tertawa dengan tingkah konyol Davi.

((foreverlove))

Dua tahun berlalu, tapi luka yang ditorehkan Raffael masih membekas dihati Hana, begitupula dengan kasih sayang yang telah diberikan laki-laki itu. Semuanya masih segar dalam ingatan Hana.

Tak dipungkiri oleh Hana, dia masih mencintai Raffael, cinta pertamanya. Dalan komik yang sering dibacanya, cinta pertama adalah suatu hal yang sangat manis. Hana setuju dengan itu, tapi ia juga berfikir cinta pertama terasa pahit. Ingin sekali ia mempunyai kisah cinta seperti di komik Shoujo yang setia ia baca, tapi itu sama sekali tidak mungkin. Di dunia ini tidak ada hal yang berjalan semulus cerita fiksi.

Dalam hari-hari terakhir masuk sekolah, membuat Hana selalu memperhatikan gerak-gerik Raffael. Sepengetahuan Hana, sejak putus darinya, Raffael tidak pernah pacaran dengan orang lain. Tapi, walaupun begitu, banyak sekali siswi yang menempel padanya dan itu membuat Hana sedih.

Seperti hari ini, diam-diam Hana melihat Raffael bermain basket dengan siswa lain dan banyak siswi yang menyemangati raffael dan meneriaki namanya dengan histeris. Hana hanya memutar matanya―bosan, tipikal fansgirl. Batinnya.

Saat itulah mata Hana bertemu mata Raffael, tapi sedetik kemudian Raffael memalingkan wajahnya, seolah tak melihat dirinya. Perasaan teriris dihatinya kembali muncul dan ia tak menunggu sampai siswa berhenti bermain untuk pulang.

Hana berjalan dengan perlahan menuju gerbang sekolah, tak peduli bahwa langit sore menjadi mendung. Hana melihat ke langit ketika merasakan rintik hujan menghantam wajahnya. Dengan sama perlahannya, dia mengeluarkan payung dari tas selempangnya dan memakainya, hujan menjadi deras. Dan walaupun Hana sudah memakai payung, tapi wajahnya tetap basah―dia menangis.

((foreverlove))

Hari terakhir masuk sekolah, merupakan hari terakhir kesempatan memperbaiki hubungan yang rusak dengan Raffael. Walaupun Hana tidak punya harapan muluk bahwa Raffael akan kembali padanya, tapi ia berharap bahwa ia dan Raffael setidaknya bisa berteman. Dan hari ini Hana memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Raffael.

Saat para sahabatnya mengajak Hana untuk merayakan kelulusan, Hana menyuruh sahabatnya untuk pergi duluan dan ia akan menyusul. Ia berniat akan menunggu Raffael di depan gerbang sekolah.
Cukup lama Hana menunggu hingga membuatnya bosan, kemudia ia melihat Raffael menuju gerbang. Senyum di wajah Hana mengembang, tapi secara tiba-tiba Davi muncul dihadapannya, membuatnya terhalangi untuk melihat Raffael. Akhirnya dengan berat hati Hana bicara dengan Davi.

Secara tak terduga, Davi menyatakan cintanya pada Hana. Tentu saja Hana terkejut, pasalnya ia sudah menganggap Davi sebagai saudaranya, dan rasa sayang yang ia rasakan hanyalah sayang terhadap saudara. Jadi dengan berat hati Hana menolak Davi, tapi Davi menerimanya dengan lapang dada karena ia tahu bahwa Hana masih memiliki perasaan pada Raffael. Davi bilang bahwa jika ia tidak mengutarakan perasaannya ia akan menyesal seumur hidup dan Hana menghormati itu. Ia memeluk Davi dan berjanji bahwa hubungan mereka tidak akan pernah berubah, karena mereka saudara.

Setelah itu Davi pergi dan Hana melanjutkan menunggu Raffael, tapi Raffael menghilang dan tak pernah muncul. Sekali lagi, Hana menelan kekecewaan karena Raffael. Kata-kata Davi terngiang di kepala Hana, ia pasti akan menyesali terus kejadian hari ini karena kesempatan terakhirnya hilang. Tapi mungkin itu memang jalan yang ditakdirkan oleh Tuhan. Jadi dengan kecewa Hana meninggalkan gerbang sekolah bersamaan dengan pupusnya kesempatan memperbaiki hubungan yang telah lama rusak. Tapi, ia akan terus mengingat kenangan akan cintanya disekolah ini, bersama Raffael―cinta yang terasa manis sekaligus pahit baginya, selamanya.

‘The End’

(19/03/2013)
(00.52 A.M)

Tiada hari tanpa menggalau, itulah saya, jadi cerita yang dibuat pun ikut menggalau. Bagian akhir cerita ini diambil dari pengalaman seseorang (tebaksiapa) dan cerita ini dibuat untuk mengenang seseorang yang pernah singgah dihati (halahlebay) dengan inisial 'I' dan untuk seseorang yang setia menemani dengan inisial 'Y'. Hope you like it :-)

Deepest Regret (Original Story) Male Version


DEEPEST REGRET


By Winna Cesa

WARNING!!
DILARANG MEMPLAGIAT,MENG-CO-PAS DAN MEMPUBLISH CERITA INI TANPA SEPENGETAHUAN AUTHOR UNTUK MENGHARGAI KERJA KERAS AUTOR DALAM MENUANGKAN IDENYA DI CERITA INI. THANKS J
.
Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu, hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan kamu harus membiarkannya pergi
.

“Jadi, semua yang kau lakukan selama ini hanya demi taruhan.” suaranya begitu lirih dengan bibir yang bergetar dan air mata yang membendung di kelopak matanya.

Aku hanya mematung dan terdiam, tak menanggapi pernyataannya. Melihat ekspresi terluka di wajahnya membuat hatiku terasa seperti dihantam palu, sakit. Tapi aku tahu, dia merasa lebih sakit karena merasa telah dikhianati.

“Haha. Ternyata itu memang benar.” dia tertawa hambar dengan ai mata yang mulai menetes satu demi satu hingga membuat sebuah aliran yang deras.

Melihat air matanya yang terus mengalir membuatku ingin memeluk dan merangkulnya saat itu juga lalu mengatakan bahwa semua itu tidak benar, tapi aku tidak melakukan itu. Lebih tepatnya aku tidak bisa, karena aku tidak bisa melanggar janjiku sendiri. Dengan hati tercabik, aku berbalik dan meninggalkannya yang mulai  terisak. Aku baru saja membuat gadis yang kusayangi terluka demi sebuah persahabatan.

((deepestregret))

Kabar bahwa aku putus dengan Hana menyebar dengan cepat diseluruh penjuru sekolah. Banyak siswi yang langsung menanyaiku langsung tentang hal tersebut dan kujawab dengan anggukan serta senyuman―senyum palsu. Para siswi terlihat senanag dengan berita tersebut, mereka malah mendukung aku putus dengan Hana dan mulai menjelek-jelekkan nama Hana di depanku. Ingin aku membentak mereka semua dan mengatakan bahwa apa yang mereka semua katakana tentang Hana tidak benar, tapi lagi-lagi aku tidak melakukan apa-apa kecuali berdehem untuk membuat mereka berhenti bicara.

Para siswa, terutama sahabatku juga senang mendengar berita tersebut walau mereka kalah taruhan. Ya, aku diberi tantangan untuk membuat Hana jatuh cinta padaku, lalu aku membuangnya. Hal yang ironis terjadi ketika aku juga jatuh cinta dengannya. Dia gadis yang baik, polos walaupun terlihat seperti tidak perduli pada orang yang tidak dekat dengannya. Para sahabatku salah mengartikan semua sifat hana dengan hal negative, seperti arogan.

"Raf, certain gimana waktu lu mutusin dia.” seru Alfin yang kini sudah duduk dihadapanku setelah mengusir para siswi yang tadi mengerubungiku.

“Nangis.” seruku singkat.

“Masa’ nangis doing si, gak marah-marah? Dia kan galak.” tanya Glen penasaran.

“Cuma nangis doang, jadi gue langsung tinggalin dia.” jawabku seolah tidak perduli pada keadaan Hana dan mencoba tidak menyiratkan bahwa aku tidak menyesal telah membuatnya menangis.

Para sahabatku―Alfin, Glen, Andre dan Donny, tertawa dengan keras mendengar jawabanku. Aku memaksakan diri untuk ikut tertawa bersama mereka, berpura-pura bahwa ituadalah  hal yang lucu.

“Gila, gue pengen banget liat tuh cewek nangis.” komentar Alfin dengan semangat. Diantara semua sahabatku, Alfinlah yang paling membenci Hana karena pernah ditolak di depan para siswa dan siswi sekolah.
“Gue juga!” seru Glen, Andre dan Donny setuju komentar Alfin. Dan sisa waktu istirahat kami habiskan dengan menertawakan Hana yang sekarang pasti sedang patah hati.

((deepestregret))

Hari-hari terasa begitu lambat dan menyesakkan. Walaupun insiden dengan Hana telah berlalu selama tiga bulan, tapi rasanya seperti baru kemarin saja terjadi. Hatiku selalu dihinggapi perasaan tidak tenang dan rasa bersalah. Setiap malam aku hanya memikirkan wajah Hana yang menangis dan membuatku tak bisa tidur. Di sekolah juga tak membantu karena aku sering berpapasan dengannya, dan setiap berpapasan dia selalu melihat kearahku. Aku selalu bertanya-tanya, dengan tatapan seperti apa ketika dia menatapku, tapi jawaban itu tak akan pernah aku tahu jawabannya karena aku berpura-pura bahwa aku tidak melihatnya, karena aku tidak bisa melihat matanya.

Walaupun aku tak bisa melihat matanya, tapi diam-diam aku selalu memperhatikannya dari jauh. Akhir-akhir ini dia menjadi ceria kembali dan dia sedang akrab dengan seorang siswa dari kelasnya, namanya Davi, dan itu membuatku cemburu.

Yah, aku memang laki-laki brengsek yang sudah menyakiti hati gadis yang kucintai dan dengan egois aku masih ingin memilikinya. Tapi aku sadar, aku tidak akan pernah bisa menggapainya lagi karena dengan bodohnya dia telah kudorong menjauh. Jadi dengan berat hati aku menyaksikannya tersenyum karena laki-laki lain.

((deepest regret))

Dua tahun berlalu, tapi aku masih tidak bisa melupakannya dan aku yakin aku tidak akan pernah melupakannya, cinta pertamaku―Hana. Semakin jauh aku mencintainya, semakin dalam kesepian yang kurasakan.

Aku masih dengan setia mengamatinya dari jauh. Melihatnya melupakanku membuatku merasa lega sekaligus sakit. Aku tidak pernah berfikir bahwa permainan yang kubuat dua tahun lalu untuk menghukum seorang gadis malah berakibat kesengsaraan pada diriku sendiri.

Dia kembali ke Hana yang dulu―Hana yang terobsesi pada pemuda yang hidup di dunia dua dimensi. Tak ada satu pun dari sahabatnya yang berkomentar lagi tentang obsesinya itu, takut ia terluka lagi. Tapi Davi, masih setia menemani Hana dan membuatnya tertawa dan dia masih menunggu Hana hingga saat ini.

Aku sering berandai-andai, bagaimana jika aku bisa kembali ke masa lalu dan menolak permintaan busuk dari sahabat bodohku. Apakah kita akan mempunyai kisah berbeda? Apakah kita akan bahagia? Argh! Rasanya kepalaku serasa mau pecah memikirkan Hana.

Sebenarnya hari ini aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Hana, karena aku tahu ini adalah kesempatan terakhirku untuk meminta maaf padanya karena hari ini adalah hari kelulusan. Besok dan seterusnya aku tak yakin apa aku akan punya kesempatan bertemu dengannya.

((deepestregret))

Aku melihatnya berdiri di depan gerbang, seolah dia menunggu seseorang. Dia menunduk dan menghentakkan menggoyangkan telapak kakinya, gesture tubuh saat dia merasa bosan menunggu, tapi ia tetap berada disana.

Aku segera menghampirinya, tahu bahwa ini benar-benar menjadi kesempatan teerakhirku. Sekarang atau tidak sama sekali. Tapi saat aku mendekat, ada seseorang yang mendahuluiku. Dia memanggil Hana dan tersenyum padanya, dibalas senyuman hangat Hana dan saat itu harapanku untuk mendapatkan Hana kembali telah pupus. Dia menunggu Davi, mungkin mau mengutarakan cintanya pada Davi, karena aku yakin bahwa Hana memendam perasaan pada Davi. Alasannya sangat jelas, Hana tidak tersenyum hangat pada orang yang tidak disayanginya.

Dengan gontai aku kembali ke kelasku, merenungi semua yang telah kuperbuat.

Aku mendesah panjang, menyesali tindakan pengecutku dengan menyia-nyiakan waktu dua tahun dan berakhir menyedihkan seperti ini. Hah, jika sahabatku tahu aku seperti ini, aku yakin pasti mereka menertawakanku, terutama Alfin.

Pada akhirnya aku hanya bisa menangis sendirian sambil menatapi foto Hana yang ada di dompetku. Mulai saat ini aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan melihat lagi kebelakang, aku akan terus maju seperti halnya Hana yang telah lama terbebas dari ingatanku. Tapi aku tak akan pernah melupakan cinta pertamaku yang terasa pahit dan akan kukenang dalam hatiku. Dan untuk terakhir kalinya aku melihat foto Hana yang tersenyum, lalu memasukan ke dalam dompetku di tempat yang terdalam karena saat ini ia hanyalah bayangan semu yang tak akan pernah bisa kuraih.

‘The End’

(18/03/2013)
(11.30 P.M)

Well, ini adalah karya saya yang sedang menggalau karena skripsi, jadi ceritanya rada aneh. Ini ngambil dr POV sang cowok, ada jg versi POV sang cewek. Cerita terinspirasi entah dari mana. Hahaha XD