DEEPEST REGRET
By Winna Cesa
WARNING!!
DILARANG
MEMPLAGIAT,MENG-CO-PAS DAN MEMPUBLISH CERITA INI TANPA SEPENGETAHUAN AUTHOR
UNTUK MENGHARGAI KERJA KERAS AUTOR DALAM MENUANGKAN IDENYA DI CERITA INI.
THANKS J
.
Hal yang menyedihkan dalam hidup
adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu, hanya untuk
menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan kamu harus
membiarkannya pergi
.
“Jadi, semua yang kau
lakukan selama ini hanya demi taruhan.” suaranya begitu lirih dengan bibir yang
bergetar dan air mata yang membendung di kelopak matanya.
Aku hanya mematung dan
terdiam, tak menanggapi pernyataannya. Melihat ekspresi terluka di wajahnya
membuat hatiku terasa seperti dihantam palu, sakit. Tapi aku tahu, dia merasa
lebih sakit karena merasa telah dikhianati.
“Haha. Ternyata itu
memang benar.” dia tertawa hambar dengan ai mata yang mulai menetes satu demi
satu hingga membuat sebuah aliran yang deras.
Melihat air matanya
yang terus mengalir membuatku ingin memeluk dan merangkulnya saat itu juga lalu
mengatakan bahwa semua itu tidak benar, tapi aku tidak melakukan itu. Lebih
tepatnya aku tidak bisa, karena aku tidak bisa melanggar janjiku sendiri.
Dengan hati tercabik, aku berbalik dan meninggalkannya yang mulai terisak. Aku baru saja membuat gadis yang
kusayangi terluka demi sebuah persahabatan.
((deepestregret))
Kabar bahwa aku putus
dengan Hana menyebar dengan cepat diseluruh penjuru sekolah. Banyak siswi yang
langsung menanyaiku langsung tentang hal tersebut dan kujawab dengan anggukan serta
senyuman―senyum palsu. Para siswi terlihat senanag dengan berita tersebut,
mereka malah mendukung aku putus dengan Hana dan mulai menjelek-jelekkan nama
Hana di depanku. Ingin aku membentak mereka semua dan mengatakan bahwa apa yang
mereka semua katakana tentang Hana tidak benar, tapi lagi-lagi aku tidak
melakukan apa-apa kecuali berdehem untuk membuat mereka berhenti bicara.
Para siswa, terutama
sahabatku juga senang mendengar berita tersebut walau mereka kalah taruhan. Ya,
aku diberi tantangan untuk membuat Hana jatuh cinta padaku, lalu aku
membuangnya. Hal yang ironis terjadi ketika aku juga jatuh cinta dengannya. Dia
gadis yang baik, polos walaupun terlihat seperti tidak perduli pada orang yang
tidak dekat dengannya. Para sahabatku salah mengartikan semua sifat hana dengan
hal negative, seperti arogan.
"Raf, certain
gimana waktu lu mutusin dia.” seru Alfin yang kini sudah duduk dihadapanku
setelah mengusir para siswi yang tadi mengerubungiku.
“Nangis.” seruku
singkat.
“Masa’ nangis doing si,
gak marah-marah? Dia kan galak.” tanya Glen penasaran.
“Cuma nangis doang,
jadi gue langsung tinggalin dia.” jawabku seolah tidak perduli pada keadaan
Hana dan mencoba tidak menyiratkan bahwa aku tidak menyesal telah membuatnya
menangis.
Para sahabatku―Alfin,
Glen, Andre dan Donny, tertawa dengan keras mendengar jawabanku. Aku memaksakan
diri untuk ikut tertawa bersama mereka, berpura-pura bahwa ituadalah hal yang lucu.
“Gila, gue pengen
banget liat tuh cewek nangis.” komentar Alfin dengan semangat. Diantara semua
sahabatku, Alfinlah yang paling membenci Hana karena pernah ditolak di depan
para siswa dan siswi sekolah.
“Gue juga!” seru Glen,
Andre dan Donny setuju komentar Alfin. Dan sisa waktu istirahat kami habiskan
dengan menertawakan Hana yang sekarang pasti sedang patah hati.
Hari-hari terasa begitu
lambat dan menyesakkan. Walaupun insiden dengan Hana telah berlalu selama tiga
bulan, tapi rasanya seperti baru kemarin saja terjadi. Hatiku selalu dihinggapi
perasaan tidak tenang dan rasa bersalah. Setiap malam aku hanya memikirkan
wajah Hana yang menangis dan membuatku tak bisa tidur. Di sekolah juga tak
membantu karena aku sering berpapasan dengannya, dan setiap berpapasan dia
selalu melihat kearahku. Aku selalu bertanya-tanya, dengan tatapan seperti apa
ketika dia menatapku, tapi jawaban itu tak akan pernah aku tahu jawabannya
karena aku berpura-pura bahwa aku tidak melihatnya, karena aku tidak bisa
melihat matanya.
Walaupun aku tak bisa
melihat matanya, tapi diam-diam aku selalu memperhatikannya dari jauh.
Akhir-akhir ini dia menjadi ceria kembali dan dia sedang akrab dengan seorang
siswa dari kelasnya, namanya Davi, dan itu membuatku cemburu.
Yah, aku memang
laki-laki brengsek yang sudah menyakiti hati gadis yang kucintai dan dengan egois
aku masih ingin memilikinya. Tapi aku sadar, aku tidak akan pernah bisa
menggapainya lagi karena dengan bodohnya dia telah kudorong menjauh. Jadi
dengan berat hati aku menyaksikannya tersenyum karena laki-laki lain.
((deepest
regret))
Dua tahun berlalu, tapi
aku masih tidak bisa melupakannya dan aku yakin aku tidak akan pernah
melupakannya, cinta pertamaku―Hana. Semakin jauh aku mencintainya, semakin
dalam kesepian yang kurasakan.
Aku masih dengan setia
mengamatinya dari jauh. Melihatnya melupakanku membuatku merasa lega sekaligus
sakit. Aku tidak pernah berfikir bahwa permainan yang kubuat dua tahun lalu
untuk menghukum seorang gadis malah berakibat kesengsaraan pada diriku sendiri.
Dia kembali ke Hana
yang dulu―Hana yang terobsesi pada pemuda yang hidup di dunia dua dimensi. Tak
ada satu pun dari sahabatnya yang berkomentar lagi tentang obsesinya itu, takut
ia terluka lagi. Tapi Davi, masih setia menemani Hana dan membuatnya tertawa
dan dia masih menunggu Hana hingga saat ini.
Aku sering berandai-andai,
bagaimana jika aku bisa kembali ke masa lalu dan menolak permintaan busuk dari
sahabat bodohku. Apakah kita akan mempunyai kisah berbeda? Apakah kita akan
bahagia? Argh! Rasanya kepalaku serasa mau pecah memikirkan Hana.
Sebenarnya hari ini aku
ingin memperbaiki hubunganku dengan Hana, karena aku tahu ini adalah kesempatan
terakhirku untuk meminta maaf padanya karena hari ini adalah hari kelulusan.
Besok dan seterusnya aku tak yakin apa aku akan punya kesempatan bertemu
dengannya.
((deepestregret))
Aku melihatnya berdiri
di depan gerbang, seolah dia menunggu seseorang. Dia menunduk dan menghentakkan
menggoyangkan telapak kakinya, gesture tubuh saat dia merasa bosan menunggu,
tapi ia tetap berada disana.
Aku segera
menghampirinya, tahu bahwa ini benar-benar menjadi kesempatan teerakhirku.
Sekarang atau tidak sama sekali. Tapi saat aku mendekat, ada seseorang yang
mendahuluiku. Dia memanggil Hana dan tersenyum padanya, dibalas senyuman hangat
Hana dan saat itu harapanku untuk mendapatkan Hana kembali telah pupus. Dia
menunggu Davi, mungkin mau mengutarakan cintanya pada Davi, karena aku yakin
bahwa Hana memendam perasaan pada Davi. Alasannya sangat jelas, Hana tidak
tersenyum hangat pada orang yang tidak disayanginya.
Dengan gontai aku
kembali ke kelasku, merenungi semua yang telah kuperbuat.
Aku mendesah panjang,
menyesali tindakan pengecutku dengan menyia-nyiakan waktu dua tahun dan
berakhir menyedihkan seperti ini. Hah, jika sahabatku tahu aku seperti ini, aku
yakin pasti mereka menertawakanku, terutama Alfin.
Pada akhirnya aku hanya
bisa menangis sendirian sambil menatapi foto Hana yang ada di dompetku. Mulai
saat ini aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan melihat lagi
kebelakang, aku akan terus maju seperti halnya Hana yang telah lama terbebas
dari ingatanku. Tapi aku tak akan pernah melupakan cinta pertamaku yang terasa
pahit dan akan kukenang dalam hatiku. Dan untuk terakhir kalinya aku melihat
foto Hana yang tersenyum, lalu memasukan ke dalam dompetku di tempat yang
terdalam karena saat ini ia hanyalah bayangan semu yang tak akan pernah bisa
kuraih.
‘The
End’
(18/03/2013)
(11.30
P.M)
Well, ini adalah karya saya yang sedang menggalau karena skripsi, jadi ceritanya rada aneh. Ini ngambil dr POV sang cowok, ada jg versi POV sang cewek. Cerita terinspirasi entah dari mana. Hahaha XD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar