Stupid Liar by Winna Yoshioka (cesavia)
Warning!!
Dilarang mengkopi atau mempublish ulang tanpa sepengetahuan sang penulis.
(Cerita ini diambil dari kisah nyata dengan nama yang disamarkan, jadi kalo ada yang merasa tersinggung, harap maklum ya. Hehehe)
.
.
.
Malam hari, saat
aku tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan seseorang, tiba-tiba ponselku
berdering, menandakan sebuah pesan masuk.
From: Fajri
Ada yang belum tidur?
Setelah membaca
pesan singkat itu, dengan marah aku langsung melempar ponselku ke ranjang
dengan sembarang.
Great!
Sudah kuduga dia
berbohong padaku. Bahkan sejak pertama mengenalnya aku sudah tahu bahwa dia
merupakan tipe laki-laki perayu, playboy dan sejenisnya. Aku juga sebenarnya
tahu, dia menaruh perasaan padaku serta beberapa perempuan lainnya yang
kukenal, tipikal playboy sejati. Dari mana aku tahu? Tentu saja dengan intuisi,
karena intuisiku dalam menilai laki-laki memang hampir selalu benar dan tak
perlu diragukan lagi karena semua teman-temanku didominasi oleh kaum adam.
Beberapa menit
kemudian ponselku kembali berdering, tapi kali ini ada telepon masuk. Aku
melirik ke arah ponselku dan melihat siapa yang meneleponku malam-malam begini.
Fajri
Aku memutar bola
mataku bosan, dia lagi? Ah, aku malas sekali meladeninya. Berpura-pura mengirim
pesan pada semua teman, tapi sebenarnya hanya mengirim pada satu orang, lalu
jika orang itu tak merespon, kau akan mencoba meneleponnya, berharap dia akan
mengangkat telepon ataupun membalas pesanmu. Hey, boy! Itu trik yang sangat kuno dan aku sangat mengetahuinya.
Aku bukanlah anak polos yang baru menginjak pubertas yang bisa kau kelabui
dengan mudahnya. Aku seorang remaja tujuh belas tahun, dan aku sudah menghadapi
berbagai macam tipe pria, terutama yang seperti dirimu itu.
Ponselku kembali
berdering, menandakan pesan masuk.
From: Fajri
Raisa, aku tahu kamu belum tidur. Kenapa gak bales sms aku? Aku lagi
bosen nih, butuh temen curhat.
Oh, yeah! Aku lupa satu julukan lagi
untukmu.
Laki-laku kesepian
yang haus akan cinta.
Woah, panjang
sekali, tapi itu julukan yang sangat cocok untuknya.
***
Aku berjalan di
koridor dengan amat santai, karena pagi ini sekolah masih lengang. Aku sengaja
datang pagi, walaupun sangat malas karena tidak mau terjebak dalam kemacetan
diawal minggu.
I hate monday!
Aku memasuki ruang
kelasku yang masih sepi, hanya terdiri dari beberapa anak rajin yang sedang
membaca buku pelajaran ataupun ada yang sedang melanjutkan tidurnya.
Aku menaruh tas
selempangku di atas meja ku yang berada di pojok dekat pintu barisan kedua. Bangku
di sebelah tempat duduk ku masih kosong, menandakan sang penghuninya belum
datang ke sekolah.
Karena merasa
sangat bosan, aku mengeluarkan ponselku dari kantung seragamku, lalu membuka
twitter yang sudah dua hari kutinggalkan.
Saat aku sedang
asik-asiknya jariku menari pada keypad ponsel, aku dikagetkan oleh Riez yang
masuk kedalam kelas dengan terburu-buru seperti habis dikejar anjing rabies.
"Hosh..di..depan..hosh..gerbang..hosh..ad―"
Ucapannya yang
sangat terburu-buru, ditambah napasnya yang tersenggal-senggal membuatku tidak
mengerti dengan kata-katanya dan terpaksa kuinterupsi ucapannya yang berantakan
itu, "Woah, tenang. Tarik napas, jangan buru-buru gitu." ujarku untuk
menenangkannya.
Beberapa saat
setelah dia mengikuti arahanku, dia terlihat lebih tenang dan santai. "Sa,
di depan gerbang ada Fajri!" katanya.
Aku terkejut,
untuk apa dia kesekolahku pagi-pagi begini?
"Ngapain dia
kesini? Kaya' gak punya kerjaan aja tuh orang." kataku acuh.
"Katanya dia
mau ketemu kamu!" kata Riez.
"Males ah
ketemu dia, denger suaranya aja udah bikin aku muak." kataku dingin.
Riez terlihat
terkejut dengan ucapanku, mungkin karena tiba-tiba saja aku bersikap seperti
itu pada Fajri.
"Lho,
kenapa?" tanya Riez heran.
"Nanti aja
aku ceritain, yang penting kamu bilangin si Fajri kalo aku gak mau ketemu sama
dia." pintaku pada Riez, dan dia langsung menirim pesan pada Fajri kalau
aku tidak mau menemuinya sekarang.
***
Aku begitu
terganggu sejak sebelum jam pelajaran pertama dimulai karena ponselku terus berdering,
untung saja tadi sempat ku silent, jadi aku tidak kena hukuman karena
menyalakan ponsel selagi belajar, karena itu dilarang.
Siapa lagi kalau
bukan Fajri yang terus menerorku dengan segala pesan singkatnya. Sampai pulang
sekolah dia masih terus mengirimiku pesan yang semua isinya sama, yaitu
mengajaku bertemu dan bicara.
Huh, aku malas
sekali untuk meladeninya. Aku benar-benar sudah tidak mau peduli padanya,
laki-laki pembohong.
Ya, aku sangat
benci para pembohong, apalagi berbohong untuk mencapai keinginannya, seperti
Fajri. Bagiku mereka hanya pecundang dan aku tidak mau mengorbankan hidupku
dengan berteman dengan orang-orang seperti itu.
Seperti yang
pernah kubilang, Fajri memang perayu dan playboy. Berteman dengan orang seperti
itu tak masalah bagiku, toh kebanyakan laki-laki memang seperti itu, kan? Tapi,
yang dilakukan Fajri padaku sudah benar-benar keterlaluan. Dia sudah menipuku
mentah-mentah!
Saat aku baru
berjalan beberapa langkah, betapa terkejutnya aku ketika ada seseorang yang menarik
tanganku, dan itu adalah Fajri.
Aku melotot
padanya dan mencoba melepaskan tanganku dari cengkramannya.
"Lepasin
tangan gue!" oke, aku memakai kata gue, yang berarti aku benar-benar
sedang marah pada seseorang.
"Oke, aku
akan lepasin kamu, tapi kamu jangan kabur."
"Emangnya gue
ayam, kalo dilepas kabur!" semprotku.
"Sori."
katanya seraya melepas cengkramannya pada tanganku.
Aku mengelus-elus
tanganku yang bekas dicengkramnya, terasa perih karena dia mencengkram lumayan
keras.
"Mau ngapain
lo kesini?" tanyaku garang, tak meninggalkan sedikitpun keramahan yang
biasa kusajikan padanya.
"Raisa, aku
cuma mau ngomong sama kamu, jadi jangan marah-marah donk." pintanya.
Huh, dasar
laki-laki gak tahu diri! Minta aku gak marah? Gak nyadar apa, kalau dia udah
bikin kesalahan yang membuatku marah?
"Udah deh,
kalau lo mau ngomong, ya ngomong aja. Gue masih punya urusan yang lebih penting
daripada ngomong sama pembohong kaya' lo!"
Fajri terlihat
menarik napas dalam, lalu membuangnya dan memandangku dengan tatapan sendunya.
What the? Berani-beraninya dia natap mataku dengan tatapan kayak gitu. Rasanya
pengen kuhantam aja tuh wajahnya pake tas ku yang super berat ini.
"Oke, kemarin
aku emang bohong sama kamu. Tapi bukan maksudku untuk bener-bener ngebohongin
kamu, aku cuma-"
"Gak
bermaksud ngebohongin gue? Terus, yang kemarin lo bilang kalo lo masuk rumah
sakit gara-gara percobaan bunuh diri, itu apa? Kalo lo mau ngerjain gue
kira-kira donk, jangan bikin gue panik setengah mati kaya' gitu. Gara-gara
kebohongan lo itu, gue merasa bersalah banget, dan lo nambah-nambahin masalah
gue yang udah numpuk aja, tahu!" kemarahanku yang sejak semalam kupendam
kukeluarkan semua, aku tak memedulikan puluhan pasang mata yang tengah asik
mengamatiku, yang penting aku bisa meluapkan semua kemarahan dan kekesalanku
pada makhluk dihadapanku ini.
"Raisa, aku
cuma mau tahu kamu khawatir atau gak sama aku. Aku bener-bener cinta sama kamu,
dan aku mau kamu jadi pacar aku."
"What,
cinta?" Aku menertawakannya, menertawakan segala kebodohannya.
"Jangan harap gue bisa percaya sama lo, karena lo selalu mengumbar kata
cinta. Lo kira gue gak tahu, semua cewek yang selalu lo gembar-gemborin kata
cinta? Gue kenal mereka, karena mereka temen-temen gue, tahu! Dan asal lo tahu
aja, gue akan selalu khawatir sama keadaan temen-temen gue, tanpa terkecuali!
Dan sekarang gue kehilangan respect dan gak mau temenan sama lo, yang artinya
gue gak akan peduli lagi sama lo." kataku lalu beranjak pergi dari
hadapannya.
"Raisa,
tunggu!" panggilnya.
Aku menoleh,
"Satu lagi! Gue udah punya cowok, jadi jangan pernah ganggu gue
lagi." kataku sambil menyeringai, lalu beranjak mendekati seorang cowok
yang sedang bersandar di pohon depan sekolah yang merupakan pacarku sejak
seminggu yang lalu.
Sedangkan Fajri?
Dia hanya bengong melihatku bersama pacar baruku. Dia pergi dengan wajah sangat
kesal, "Huh, gagal lagi. Kalau begitu, next target!" gumamnya, lalu
merogoh sakunya untuk mengirim sebuah pesan yang sudah pasti dikirim pada
mangsa barunya.
OWARI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar