Sabtu, 21 April 2012

Bleach Fanfiction 涙売りの少女 (Namida Uri no Shoujo)



Heloo...! I'm come back with new fic...:)

Yang lagi galau, hati-hati ya baca fic ini karna fic inimengandung kegalauan yang cukup tinggi yang mampu membuat para pembaca yang galau bertambah tingkat galaunya menjadi depresi.. Hahaha..*laugh evil*

yasudah, tak banyak omong lagi,silakan baca..

.


Bleach belong to Kubo Tite

This plot is mine


.

涙売りの少女
(Namida Uri no Shoujo/Tear-seller girl)






"Dareka, watashi wo katte kudasai!"*


Kata-kata itu begitu ingin kuteriakan, tapi lidahku terlalu kelu untuk mengucapkannya. Seakan aku takut untuk mengatakannya. Ya, kuakui, separuh diriku begitu takut, tapi bagian diriku yang lainnya―yang dipenuhi amarah dan keputusasaan, selalu menginvasi pikiranku dengan kata-kata itu.


Kakiku begitu lelah melangkah, hingga membuatku tak mampu lagi berjalan. Tapi hatiku lebih lelah dengan semua drama kehidupan yang harus kulakoni. Aku duduk di trotoar―tak memedulikan seragamku yang akan kotor, sambil mendesah. Aku menatap setiap kendaraan yang masih ramai berlalu lalang di bawah rintik hujan.




Aku mulai bosan dengan kegiatanku―menatap kendaraan bermotor yang berlalu lalang, akhirnya aku memnutuskan untuk kembali berjalan menuju pusat kota. Meskipun kakiku sudah berteriak kelelahan, aku tidak memerdulikannya hingga aku tiba ditengah hutan beton yang berhiaskan cahaya yang berasal dari lampu, terlihat indah tapi terasa kaku dan dingin, sedingin malam ini.

Disini, ditengah kota, keadaan masih begitu riuh walaupun hujan mulai mengguyur dengan derasnya, meskipun begitu, yang kurasakan hanyalah kesunyian, seakan aku berada dalam ruang hampa yang kedap suara, sendirian karena telah dilupakan oleh orang-orang.

Mataku menangkap beberapa gadis sekolah menengah yang berlarian mencari tempat berteduh. Mereka menggunakan tasnya untuk menghalangi guyuran air hujan menimpa kepala mereka. 
Walaupun mereka terlihat kerepotan, mereka tetap saling tertawa pada temannya. Aku tersenyum dibuatnya, tapi bukan senyum kebahagiaan seperti mereka, melainkan sebuah cibiran yang sangat mencemooh, yang kutujukan untuk diriku sendiri, karena seumur hidupku, tak pernah ada yang tersenyum seperti itu padaku, bahkan sahabatku sendiri. Mereka tak pernah melakukan sesuatu yang berguna, mereka selalu menggosip tentang orang lain, bahkan juga tentang diriku. Mereka juga selalu mengomentari dan mengadili kehidupanku, seperti mereka merasa memahaminya, padahal tidak sama sekali. Hidup diantara seorang ibu yang jiwanya tidak sehat dan ayah seorang penjudi yang bahkan sanggup menjual putrinya sendiri, bukanlah suatu hal yang mudah dipahami.

Aku kembali berjalan ditengah hujan, entah mau kemana, aku tidak tahu. Aku hanya ingin membunuh waktu yang kumiliki. Aku hanyalah seorang aktris yang tak tahu perannya dalam panggung drama ini.

Langkahku kembali terhenti saat ekor mataku menangkap sebuah benda-yang dulu sangat kuinginkan, terpajang di etalase―sebuah boneka Barbie. Kulirik label harganya, dan...wow, mahal sekali untuk ukuran benda kecil seperti itu. Sebelum kembali berjalan, kembali kulirik boneka tersebut. Aku tersenyum kecut. Seandainya saja hidup semudah ketika kita masih menjadi anak-anak, tidak perlu mengetahui betapa kejamnya kehidupan dan hanya hidup dalam impian-impian indahnya.

Dulu, aku sering bermimpi menjadi seorang putri yang hidup dalam istana yang indah dan suatu saat ada seorang pangeran tampan yang gagah berani datang melamar sang putri, kemudian menikah dan hidup bahagia selamanya. Tapi, seiring bergulirnya waktu, aku sadar, itu hanyalah impian yang tak akan pernah terwujud karena hidup tak semudah dan seindah itu. Hidup di dunia ini adalah suatu yang kompleks dan mengandung banyak masalah.

Aku tersentak dan terlonjak kaget saat tiba-tiba sebuah klakson mobil berbunyi. Aku menoleh kearah jalan. Sebuah mobil Ferrari Enzo terparkir dipinggir jalan, sang pengemudi keluar dari mobilnya dan membuka payung, lalu berjalan kearahku, laki-laki itu tinggi, berbadan tegap dan tampan, terlihat dari cara berpakaiannya dan tentu saja mobilnya, dia orang yang berkantung tebal. Dia tersenyum padaku. Sesaat aku terpesona oleh ketampanannya, dan berharap dia adalah seorang pangeran yang akan menyelamatkan sang Cinderella dari jerat kehidupan yang menyedihkan. Tapi, harapan hampa itu segera sirna ketika aku melihat lebih jelas senyum yang diberikan padaku. Senyuman yang sangat menggoda dan penuh dengan penawaran serta hasrat saat melihat seragamku yang kini terlihat sedikit transparan akibat hujan yang mengguyurku.

"Mau tumpangan?" laki-laki itu masih tersenyum.

Aku membisu, aku tahu apa yang selanjutnya akan terjadi bila aku ikut dengannya. Dia mungkin akan mengajakku ke hotel, atau kalau ia bukan orang penyabar, ia akan mengajakku bermain di dalam mobil. Sejenak aku berpikir, mungkin tak apa jika aku mengikutinya, toh aku sudah tak mempunyai apapun untuk dipertahankan. Tapi, bayangan tentang saat dimana ayah menjualku pada seorang pria yang akhirnya merebut suatu hal paling berharga yang tersisa dalam diriku, mengusik pikiranku. Membuat diriku mengingat segala sesuatu yang mengerikan dimalam itu, hingga tubuhku bergetar ketakutan.

"Maaf, tidak perlu." aku langsung berlari tanpa menoleh pada laki-laki tersebut.

Air mataku mengalir, melebur dengar air hujan yang senantiasa menyirami bumi sejak tadi. Aku takut, sangat ketakutan. Segala sesuatu dalam hidupku tak pernah menjadi suatu hal yang baik. Aku tak punya harapan untuk masa depan. Aku takut masa depanku tak akan menjadi hal yang lebih baik dari saat ini.

Lagi-lagi langkahku terhenti, kali ini karena lampu lalu lintas yang berwana hijau. Aku menatap cahaya hijau itu dengan tatapan kosong, lalu terlintas sebuah ide di pikiranku untuk segera mengakhiri drama kehidupan ini. Saat aku ingin melangkah, lampu berubah kuning, lalu merah. Aku mengurungkan niatku untuk melangkah. Orang-orang disekelilingku segera menyebrang kesisi jalan yang lain dan aku tetap tak bergeming, kemudian lampu kembali hijau.

Aku merasa sedikit ketakutan dan keraguan, tapi semuanya akan segera berakhir dan aku tak akan merasakan penderitaan yang terus menyiksaku serta membuatku lelah, jadi aku menyingkirkan perasaan yang tak perlu tersebut.

Dengan mantap aku melangkah kesebuah mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Aku memejamkan mataku saat mobil itu menghantam dan melemparku beberapa meter. Kepalaku terantuk aspal dan kurasa darah terus merembes keluar karena kepalaku terasa hangat dan basah. Seluruh tubuhku terasa sakit dan aku tak dapat melihat dengan jelas, aku hanya bisa mendengar teriakan histeris orang-orang, tapi lama-kelamaan suara itu menghilang dan yang tersisa hanyalah kegelapan dan kesunyian, bahkan rasa sakitku pun menghilang dan aku tahu bahwa aku telah mengakhiri segalanya.

Selamat tinggal. Selamat tinggal Rukia Kuchiki.

:: Owari ::


*someone, please buy me!


SOMEONE, HELP ME!!!!
Fic macam apa itu di atas??!!
Huwa...! Gaje banget...! Galau...! Hahaha,, sumpah, ni fic berasa galau banget karena bikinnya pas lagi galau setengah idup plus wahamnya lagi kumat and kebetulan dengerin lagu AKB48 yg judul'a sama kaya' judul fic ni jadilah muncul ide buat bikin fic suram ini (sesuram hati yg buat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar